“Kita sudah lama tertipu dengan narasi bahwa memiliki pernikahan adalah tujuan akhir sebuah romansa. Hakikatnya, rumah tangga adalah tempat berbenah diri seumur hidup untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”
Bagaikan cerita di buku dongeng, sebuah pernikahan menjadi impian sebagian besar orang. Bahagia selama-selamanya, narasi yang dipercayai sebagai penutup lagu dongeng. Tidak terkecuali aku. Memiliki pasangan yang digandeng di pelaminan ternyata tidak membuat episode berakhir. Setelah proses resepsi ternyata tidak hanya episode-episode yang manis. Ada asam, getir, bahkan pahit memadu rasa.
Di awal pernikahan begitu menantang, semua serba menyesuaikan. Meskipun sudah diutarakan saat ta’aruf dulu, namun praktiknya tentu berbeda dengan teori. Bahkan sampai saat menuliskan cerita ini, kami masih belajar mengenal satu sama lain.
Kesalahpahaman pun menjadi salah satu bumbu pernikahan. Proses pengenalan memang akan didapatkan ketika ada konflik yang terjadi. Jangan bayangkan konflik negara dalam sebuah pernikahan, ya. Perkara handuk yang tidak dijemur sehabis mandi pun bisa menjadi suatu konflik yang berkepanjangan, bukan?
Romansa pernikahan tidak semeriah dulu lagi karena tantangan yang dihadapi berbeda. Memang selalu ada celah ketika semua merasa aman dalam genggaman. Pernikahan ini bukan permainan buat kedua hati. Jangan berharap akan selalu ada semarak bunga yang bermekaran. Pernikahan ini adalah satu tahapan untuk menapaki hidup yang masih belum seberapa jauh.
Belum cukup waktu rasanya mengenal pasangan yang baru 3 bulan dikenal sebelum ijab kabul, tantangan baru muncul. Allah berikan amanah dalam rahim ini untuk mengandung janin yang berpadu dari kromosom kamu berdua.
Dinamikanya banyak sekali. Selain pendewasaan diri, adaptasi dengan pasangan, juga peralihan dari wanita pekerja menjadi seorang mahasiswi pascasarjana yang belum berpenghasilan saat itu. Jika dipikir sekarang, “Kok bisa aku melewati itu?”.
Teknologi Serba
Tidak menafikkan bahwa era digital menciptakan sebuah kebiasaan baru. Mudahnya mendapatkan segala informasi, tidak selamanya menguntungkan. Tanpa sadar, diri ini malah banyak menuntut pasangan untuk begini dan begitu. Belum lagi dengan rasa iri yang muncul tiba-tiba karena pencapaian seseorang di luar sana. Yang terkadang, diri ini juga tidak kenal. Apalagi dengan orang-orang yang dikenal.
Akupun pernah merasakan tidak bahagia ketika harus meninggalkan anak yang masih bayi. Rasanya berat menembus kilometer antara Jakarta-Bogor demi menyelesaikan studi saat itu.
Aku juga pernah merasa tidak bahagia ketika harus bersama dengan anak 7 x 24 jam. Rasanya badan lelah, hati gusar. Aku merasa membandingkan hidupku dengan orang lain terus. Rasanya sepatu tak pernah cocok karena mata selalu fokus ke dunia lain.
Berbagai teori pun memenuhi memori handphone, baik itu tangkapan layar dari sosial media, rekaman zoom dan webinar, bahkan etalase-etalase buku parenting rasanya tak sedikit aku kumpulkan. Aku sadar, ada yang dikejar tapi tidak nyata. Ada yang hilang, tidak tahu apa. Ada hati yang keruh dan mudah bimbang kala itu.
Lalu, Allah berikan perjalanan yang tidak sebentar dan mudah. Lewat pertolongan tangan therapist dan psikolog, buku, seminar, workshop, hingga sesi privat. Aku buka mata dengan pengetahuan dan keterampilan baru. Bagaimana mengolah rasa, memproses semua kejadian dari episode kehidupan yang lalu dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
baca juga : Tips Menjaga Pernikahan Harmonis yang Mudah Dilakukan
Tidak lagi Menuntut, tetapi Menuntun
Jika semua bergantung pada orang lain, sekalipun itu pasangan. Jika semua bergantung pada serba perhitungan dan pengharapan. Apa yang mau dikejar?
Lakukan yang bisa dilakukan dari diri sendiri dulu. Sederhananya, memberi pelayanan terlebih dahulu. Sesederhana kita saling berlomba mengisi botol air minum, berlomba mengisi charger handphone pasangan, dan sebagainya. Kuncinya, perlakukan orang lain sebagaimana diri ingin diperlakukan. Bukan menuntut, tetapi menuntun lewat dakwah sikap yang nyata diperbuat. Karena sebagai manusia, kita pun akan dihisab dengan sikapnya masing-masing yang telah kita perbuat. Karena diri, maupun orang lain akan tetap dihisap atas perbuatan sendiri.
Dari sana, aku mulai berhenti menuntut apa yang harus pasangan lakukan. Fokus ke diri sendiri, apa yang bisa dilakukan dan diberikan. Aku mengasuh putera-puteriku dengan sepenuh hati. Aku mencoba memberikan makan terbaik dari tanganku untuk mereka dan pasanganku. Aku mencoba hadir sepenuhnya kepada mereka.
Saat “menuntut” tidak diganti “menuntun”, tentu hanya ada rasa lelah yang menahun atas bilangan ekspektasi dan kejadian yang tak sesuai harap.
Saat berbalas dengan kebaikan, Alhamdulillah. Ingat, itu bonus. Bisa jadi, tidak sekarang kebaikanmu dibalas dari orang yang sama.
Satu keyakinan yang terapis saya, Teh Gina Shabira tanamkan adalah kebaikan dan keburukan bagaikan bola yang dipantulkan ke tembok, pasti akan kembali pada pelemparnya. Tidak mengapa jika tidak terbalaskan di dunia karena Allah sudah janjikan balasan kebaikan. Ya, minimal sebagai tabungan amal di akhirat kelak.
baca juga : Hikmah Menghadapi Masalah dan Masa Sulit
Kemana mencari bahagia?
Aku mencari begitu lelah, dimana bahagia? Ternyata, rasa syukur yang dapat mengakses rasa bahagia. Bukan hidup yang kurang bahagia, namun hati keruh tak bisa menemukan kata sandi syukur.
Coba kita aktifkan panca indera. Mari dengarkan suara anak-anak, rasakan kehadiran mereka. Lihat yang dipakai, diduduki, dilihat, diminum dan dimakan. Rasakan, nikmati dan syukuri. Mari ucapkan Alhamdulillah atas semua hal yang diberikan, baik yang kita minta, maupun yang tidak dari sang pencipta.
Mencari bahagia, tak akan pernah diri ini menemukan selagi hidup masih dipusatkan pada apa-apa yang menjadi pencapaian orang lain. Bahagia, hanya mampu dirasa saat diri mampu merasa. Merasakan kehadiran diri sendiri, merasakan kehadiran pasangan, merasakan kehadiran anak-anak, merasakan apa yang ada di sekeliling kita penuh rasa syukur. Karena bahagia bukan dicari, namun diciptakan di dalam diri.
Bagaimana dengan dirimu, apakah sudah merasa bahagia hari ini?
Semoga bermanfaat, salam.
Alhamdulillah, Saya belum menikah dah terdampar di tulisan ini. Membuka fikiran saya bagaimana pernikahan itu sebenarnya. Kebanyakan cuma lihat hahhihi dari seleb doang. Tapi kalau dilihat dari rumah, orang tua juga menampilkan sisi bahagia, sesekali mungkin ada pertikaian. Tapi melihat sudut pandang berbeda dari orang lain, luar biasa.. Terima kasih, Kak 🙂
Alhamdulillah sudah diingatkan oleh tulisan ini, memang terasa sulit untuk mencari apa itu bersyukur, sangat berat sekali melihat rumput tetangga lebih hijau, tetapi saat datang rasa syukur itu semua menjadi indah, tidak ada pernikahan yang sempurna tidak ada jalan hidup yang mudah, bersyukur saja dan melakukan yang terbaik insyaallah allah memberi hadiah yang sangat baik untuk kita semua
Betul sekali, kebahagiaan diciptakan dalam diri, karena ketika dicari tak akan pernah ketemu dengan kebahagiaan itu. Setuju dengan pendapat bahwa lakukan apa yang ingin orang lain lakukan pada kita. Bukan menuntut tapi menuntun, It’s much better..Semangat bun..
Thanks for share mbak .. jadi flashback ke pernikahan saya.. memang kalau ada masalah beranikan diri buat bicara dan cari pertolongan, jangan dipendam sendirian, karena banyak orang yang bisa menolong kita.. moga selalu bahagia yaaa
Menurutkuu sih ya kebahagiaan didapatkan olh diri sendiri, baik sebelum atau setelah menikah. Jadi gak bisa nuntut 100% ke suami.
Emang bener kudu menuntun bukan menuntut.
Tapi di kasus lain d konselor yg kasih nasehat kalau istri baiknya kudu ngisi tangki cintanya terlebih dahulu baru bisa mencintai/melayani keluargany.
Jangan lupa self love yaa.
12 tahun menikah jadi merenung, kenapa pernikahan yg aku jalani tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi ya sudahlah, setidaknya aku masih lebih beruntung dibandingkan orang lain. Kalau kita selalu melihat ke atas, ke depan.. pasti adalah rasa iri, kurang bersyukur, dll Aku setuju banget, bahagia itu bagaimana cara kita menikmati.
12 tahun menikah jadi merenung, kenapa pernikahan yg aku jalani tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi ya sudahlah, setidaknya aku masih lebih beruntung dibandingkan orang lain. Kalau kita selalu melihat ke atas, ke depan.. pasti adalah rasa iri, kurang bersyukur, dll Aku setuju banget, bahagia itu adalah bagaimana cara kita menikmati.
Sepakat pake banyak.
Jauh lebih menyenangkan, saling menuntun dengan cara santun, dibanding menuntut yang kadang suka keselip kesan nyinyir bin julid.
Pekerjaan sesederhana mencuci malah bisa berubah jd ajang perang. Wkwkwk
karena kita selalu disuguhkan dengan cerita-cerita dongeng bahwa kisah yang bahagia selalu berakhir di pernikahan
Dan setelah menjalani sendiri pernikahan kita baru tahu bahwa pernikahan itu tidaklah “sesimple” yang selama ini dibayangkan
akupun mbak selama 6 tahun pernikahan menghadapi berbagai hal. kadang berpikir apakah keputusan menikah ini benar atau tidak dan kadang juga ingin menyerah dalam pernikahan. namun pernikahan adalah proses mengenal pasangan kita seumur hidup jadi saya dan suami juga tentunya masih perlu mengenal lebih jauh. semoga saja kita dan pasangan kita selalu diberkahi Allah yaa
Bener sih mba. Jangan cuma mau menuntut kalo ingin bahagia. Yg ada malah ga pernah puas, dan berujung kecewa lagi kalo pasangan atau seseorang ga bisa memenuhi apa yg kita mau.
Mudah bersyukur, mau merasa cukup dengan apa yg ada, dan banyak memberi, justru lebih bisa bikin hati bahagia ❤️