Berbakti Pada Orang Tua yang Sudah Bercerai

Photo of author

By Shafira Adlina

Katanya berbakti pada orang tua adalah kewajiban. Berbakti bukan karena hubungan yang dekat atau jauh dengan orang tua tersebut. Bukan karena mereka baik atau jahatnya terhadap kita. Tapi ya, karena mereka orang tua, jadi kita perlu berbakti pada mereka.

Dulu hal yang paling sulit bagiku melangkahkan kaki menuju orang yang kusebut bapak itu. Hari-hari terasa berat ketika aku duduk di bangku SMA, aku tak pernah bertemunya di rumah. Namun, aku harus bertemu di sekolah karena ia salah satu guruku. Ia pergi meninggalkan rumah dan berumah tangga dengan wanita lain.

Semua orang yang di sekeliling pun tahu bahwa aku dan saudara-saudaraku memang anak broken home, tapi bukan broken child. Alhamdulillah, Allah jaga kami berlima menjadi anak ya di jalan yang lurus dan bisa dibanggakan secara “duniawi”. haha.

Lalu perlahan, semenjak aku mulai di tingkat akhir aku tersadar untuk menjalin silahturahmi dengannya. Meski intensitasnya hanya dalam rangka idul fitri, aku beranikan diri untuk datang ke rumahnya atau minimal menelepon untuk menanyakan kabarnya.

Ketika Bapak Jatuh Sakit Stroke

https://www.instagram.com/p/CtwG_ANJ2qc/

Hingga datangnya hari…

Suara dering telepon malam hari di ponselku yang mengabarkan Bapak masuk rumah sakit. Aku beranikan diri menelepon Ibu Tiri-ku untuk mendapatkan kabar terbaru. Benar bahwa mereka dalam perjalanan ke Gawat Darurat Rumah Sakit terdekat.

Singkat cerita, akhirnya bapak dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Cipto Mangkukusomo atau yang sering kita sebut RSCM. Diagnosis sementara bapak terkena stroke mengakibatkan ia tidak bisa bangun. Saat itu, ada kakak laki-lakiku (aa) bersama bapak mertua yang rumahnya memang sama di Bekasi. Selain mereka, ada juga Tante yang merupakan adik Bapak yang menemani.

Saat itu perasaanku campur aduk, aku sedih, iba dan simpati. Namun ada rasa segan jika harus sendiri menyengaja untuk datang ke rumah sakit. Hari dimana Bapak terjatuh sebetulnya kami sekeluarga sedang di kota Tangerang karena ikut Suami kerja di sana.

Besoknya aku pun pulang duluan, meminta izin untuk dapat menengok Bapak di RSCM dan menitipkan anak-anak di rumah mertua saat itu. Aku pun berangkat menuju Rumah Sakit, terbayang juga suami Bapak pasti belum pulang 2 malam semenjak dari ruangan IGD.

Sebetulnya aku kasihan sekali melihat Bapak tidak berdaya seperti itu, tapi ada rasa yang tidak biasa ketika harus berhadapan selama itu. Dari kami ber-5 saudara memang tinggal di lokasi berbeda dengan kesibukan yang tidak sedikit. Kakak pertamaku yang tinggal di Sukabumi, Kakak keduaku yang di Cikarang namun statusnya sebagai working mom, kakakku ketiga (Aa) yang kerjanya di Kalimantan per dua pekan, lalu adikku yang tinggal di Batam.

Ya dengan segala jarak fisik ditambah dengan jarak batin, pasti menjadi ramuan pas. Alhamdulillah, kami berlima pun yang selalu mengingatkan bahwa kita perlu untuk berbakti…

Akhirnya kuberanikan diri untuk hadir dan merawat Bapak selama 2 hari di siang hari. Aku merasa kasihan ketika melihat istrinya yang harus mengurus sendirian.

baca juga: Acceptance: Menerima Saudara Se-Bapak

Niat Baik Tidak Selalu Ditangkap dengan Baik

Sayangnya, manusia memang selalu diuji dengan hal yang berbeda di setiap episodenya. Memang kali ini aku berhadapan keluarga yang tidak mudah, sedikit rumit dan banyak menantang. Tidak berlama-lama dan berlarut dari drama yang ada. Setidaknya sedikit banyak, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana seseorang yang hidup dengan keluhan dan ketidak bersyukuran. Tidak perlu menjelaskan terlalu detail, tapi aku mencoba bersyukur untuk dapat melihat langsung kejadian itu.

Dalam cerita kali ini, aku ingin mencoba melihat dari sudut pandang lain tanpa merintis kenapa kenapa hal ini terjadi padaku. Awalnya memang berat, harus memegang, bicara, memijit, menemani mendorong kasur pasien ke Poli Jantung. Lagi-lagi aku mencoba sebagai hamba Allah, yang penuh dosa dan lemah ini, semoga ini bagian terbaik aku beramal. Apalagi saat harus membantu suster memandikan Bapakku, sementara istrinya sedang pergi ke rumahnya untuk mengambil perbekalan.

Sebetulnya yang membuat lelah bukan itu, saat sikap dan niat baik kita tidak diindahkan. Namun, sesaatku sadar saat itu aku mengharapkan kepada makhluk.

Jika teman-teman pernah mendengar golden rule:

“Perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan oleh orang lain.”

Ternyata lebih penting bukan konsep golden rules  tersebut. Jika kita mengembalikan ke salah satu ayat yang ada di Quran, Al Isra Ayat 7.

“Jika kita berbuat kebaikan, sesungguhnya kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri.” (Begitu pula sebaliknya.)

Hikmah dari Kejadian: Ga enakan itu Ga sehat!

Dari kejadian tersebut, aku dan keempat saudaraku yang lain akhirnya bisa mencoba menghubungi saudara-saudara kami sebapak yang lain. Selama ini tidak pernah bicara satu sama lain.

Ketika berbicara dengan Tante-adik Bapak yang mengharapkan kita bisa membuat jadwal untuk menjaga Bapak, rasanya menjadi sesuatu yang mustahil. Sebab mereka (6 saudara sebapak) lebih jauh lagi, masa-masa kecil mereka tidak ditemani Bapak.

Seolah anak dijadikan tempat investasi yang siap ditagih, tapi dari kacamata kita, sebisa mungkin kita membantu. Jika pihak yang dibantu tidak merasa syukur, itu ranah mereka dengan Yang Kuasa.

Adikku yang berdomisili di Pulau lain pun merasa tak enakan karena tidak bisa membantu banyak. Apalagi dapat sebuah tekanan juga dari pihak yang meminta dibantu.

Walau rasanya rumit, kenyataannya simpel saja: ga enakan itu tidak sehat untuk kita. Buktinya apa? Kalau kita melakukan sesuatu atau tidak mau nolak karena rasa nggak enak, ujung-ujungnya pasti kita yang merana. Tambah ruginya lagi, biasanya orang-orang yang tidak salah jadi ikut kena semprot kita juga. Duhlah rugi berat!

Semoga Allah mudahkan perjalanan hidup kita ya!

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page