Acceptance: Menerima Saudara Se-Bapak

Photo of author

By Shafira Adlina

“Na, jangan diam di kamar aja dong. Keluar itu kan saudara lo,” ujar sepupuku.

Rasanya panas sekali dada dan tenggorokkan ini mendengar ucapan pria yang lahir sama dengan tahunku lahir. Di ruang tengah ada seorang laki-laki, ia mengaku anak Bapakku. Maksud kedatangannya ingin bertemu dengan adik bapakku. Selama berkuliah di ibu kota, aku memang tinggal di rumah tanteku ini.

Sebenarnya sulit menerima kenyataan bahwa aku harus tinggal di sini. Salah satu alasan aku tinggal karena jaraknya dekat di kampusku dan ibuku tak sanggup untuk melepasku tinggal menyewa sebuah kamar di Jakarta. Selain faktor keamanan, faktor ekonomi juga mempengarhui keputusan di masa lalu. Harga sebuah kamar yang disewakan yang tidak murah untuk kondisi ekonomi kami saat itu.

Bukan berarti aku lantas menerima tinggal di sana. Beberapa kali aku bersama teman dan kakakku pun mencari-cari kamar yang disewakan di bilangan selatan ibu kota Jakarta. Namun harganya bisa seperempat upah ibuku yang seorang guru menengah pertama. Sementara ibuku masih mempunyai tanggungan lain.

ilustrasi hati

Minim Kosakata Bapak

Ibuku hanya seorang diri membesarkan kami berlima. Meskipun pengadilan negeri agama baru mengabulkan gugatan cerai ibu di tahun pertama aku sekolah menengah atas, tetapi aku merasa ketidakhadiran Bapak semenjak kanak-kanak. Bagaimana tidak? Ia hanya ada di rumah kami senin sampai jumat. Sabtu dan minggu ia entah pergi kemana. Beberapa kali aku sering bertanya pada ibu kemana perginya bapak selama akhir pekan, jawabannya hanya pergi keluar kota atau nama daerah yang tidak kumengerti.

Ketidakhadiran Bapak di rumah menjadi suatu hal yang tidak masalah bagi kami. Seringnya kami merasa aneh atau takut ketika ada Bapak. Saat itu kami sedang bercengkraman di ruang tengah, tiba-tiba Bapak pulang seketika kami kabur ke kamar masing-masing.

Aku pun mencoba menggali memori tentang Bapak, tetapi tidak ada sama sekali kebersamaan atau kehangatan bersamanya. Ia menjadi sosok menakutkan sekaligus harus ditaati perintahnya dari mulai bebersih, menyetrika atau mencarikan barang-barang yang hilang.

Awalnya ada rasa malu dan sungkan pergi pertama kali ke rumah adik bapakku. Bagaimana tidak, kami terakhir berkomunikasi saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Dan kami datang dengan status Ibu sudah bercerai dengan Bapak.

“Gak apa-apa kalau mau tinggal di sini.” Ucap Ibu paruh baya itu yang hampir seumuran dengan usia ibuku. Tante Dice kupanggil dengan akrab. Beliau begitu baik, meskipun satu kamar bersama kedua putrinya aku merasa memang beliau tulus menerimaku di sana.

***

Laki-laki yang mengaku anak bapakku itu entah tujuannya apa menemui Tante saat itu.

“IPK saya cuma 2 koma tante, segitu bisa lulus udah syukur,” ucapnya.

Kalimat tersebut dan beberapa kalimat yang menyatakan ia selepas test wawancara kerja sekitar Jakarta pusat yang membuat ia ingin menemui Tante hari itu. Selebihnya aku tidak ingin mengetahui. Namanya pun tak ingin aku ingat.

Usiaku yang belum genal 18 tahun saat itu baru mengetahui ternyata aku mempunyai saudara lain sebapak. Tak tanggung-tanggung jumlahnya ada enam. Selain itu usianya tidak jauh berbeda dengan usia kami berlima saudara.

Inikah jawaban kemana saja Bapak di akhir pekan? Dia membina keluarga lain?

Marah, adalah satu kata yang kurasakan selama beberapa tahun di perkuliahan. Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan ibuku bisa bertahan puluhan tahun dengan Bapak. Walaupun kalau dipikir jika tidak bertahan, mana mungkin ada kami berlima.

Jangankan kehadiran, nafkah lahir pun jarang diberikan kepada Ibu. Ibu memendamnya sendiri. Bapak baru mendapatkan pekerjaannya menjadi guru pegawai negeri di kelahiran anakknya yang kelima. Artinya selama membesar kami berempat, Ibu pontang panting sendirian.

Ibu menyimpan rapat-rapat seluruh masalahnya itu. Masih jelas ingatanku sekitar 7 tahun lalu di pernikahan kakakku, Bapak datang duduk bersama kami.

“kenalkan ini anak-anak Bapak, siapa namamu?” ucapnya dengan sambil tersenyum kecil.

Sementara bagiku dan adikku hal itu tidak sama sekali lucu, bagaimana bisa dia mengingat nama anaknya sendiri. Kulihat raut saudara bsebapak itu juga agak asam. Aku yang belum bisa menerima kenyataan itu memilih melipir ke kakak sulungku. Tersisa hanya adikku yang menyodorkan tangannya untuk perkenalkan.

Pikiranku tidak mengerti, mengapa mereka memberanikan diri datang ke acara pernikahan kakak laki-lakiku. Mereka sampai di sini tentu diajak oleh Bapak. Saat itu aku hanya bisa menyangkal memiliki saudara-saudara seperti mereka. Hal lain yang membuat panas hati, seperti ada bara di kerongkonganku. Setiap kali ada acara pernikahan di pihak keluarga Bapak. Seperti pernikahan sepupu-sepupuku. Mereka kembali datang, malah di satu kesempatan aku melihat Ibu mereka.

Meski aku tidak melihat wajahnya secara jelas, gerak-gerik mereka menampilkan itu mereka. Dan di acara pernikahan anak dari adik Bapak itu kami memakai baju seragam dengan balutan kain yang sama. Rasa penyangkalan di dalam hati memuncak. Rasanya ingin segera keluar dari gedung itu. Namun, kuingat itu acara besar Tanteku, salah satu orang yang kuhargai keberadaannya.

Jika ada yang berkata seiring waktu kita akan beranjak dewasa, mungkin itu ada benarnya. Tentu harus diiringi dengan tempaan dan menyelam laut keilmuan. Kita tidak bisa mengandalkan sumbu waktu untuk menjadi dewasa.

Dalam kacamata keluarga adik Bapak tentu akan ada rasa membela dan mendukung yang dilakukan Bapak. Tak peduli bagaimana pihak keluarga ibuku tersiksa secara batin puluhan tahun.

Momentum mereka menampakkan keberadaannya pada kami, yakni ketika Bapak menikah dengan wanita lain dan memiliki seorang anak kecil seumur cucunya. Saat itu tanpa pikir panjang Ibu mengajukan gugatan cerai. Berat proses bagi pasangan pegawai negeri sipil untuk mengajukan proses perceraian. Namun keputusan Ibu saat itu sudah bulat. Akhirnya Bapak meninggalkan kami secara fisik seutuhnya, meskipun ia telah lama meninggalkan secara jiwa sejak lama.

Bapak meninggalkan Ibu dengan lima anaknya. Bapak juga meninggalkan tanggungan Istri keduanya dengan enam orang anaknya.  Jika dibayangkan memang rasanya keluarga sebelah sana lebih memprihatinkan. Bagaimana tidak, mereka hanya bertemu Bapak di akhir pekan. Tentu sama dengan kami, jiwa anak-anaknya pun tumbuh tanpa sosok maskulin dari Bapak.

menerima saudara tiriMencoba Menyambung Silahturahmi

Beberapa tahun kemudian, tak pernah kubayangkan hari itu aku membawa sosok calon imamku ke rumah Bapak dan istri barunya. Kadang aku bingung panggilan apa yang pantas harus kuberi, memanggilnya Ibu seperti menyakiti perasaanku dan ibuku sendiri.

Sesampainya di rumah yang bercat putih itu aku, adikku dan laki-laki yang kukenal beberapa bulan lalu itu. Lelaki itu meminta persetujuan untuk menikahiku kepada Bapak, setelah sebelumnya telah menemui ibuku. Ibu menganggap bagaimana pun juga Bapak adalah waliku yang sah jadi harus tetap memperkenalkannya.

Di tengah perbincangan kami, anak laki-laki yang berusia hampir 5 tahun itu selalu menganggu percakapan kami. Seolah meminta perhatian kepada ayahnya. Ayah dan bunda adalah panggilan kepada pria yang memberikan nama kepadaku sewaktu aku lahir. Anak itu tidak bisa diam, cenderung agresif. Sesekali melempar mainan, berteriak ke arah kami. Padahal ia seusia dengan keponakanku. Saat itu perangainya jauh sekali dari normal anak seusianya.

“Mungkin ini karma karena dulu sering ninggalin Ina dan saudaranya” jelas Bapak setelah menangkis sebuah kursi yang hampir dilemparkan anaknya. Aku dan adikku hanya terdiam, apalagi calon suamiku. Dalam pertemuan itu Bapak juga menyampaikan ia tak akan mempersulit jika Ibu sudah setuju dengan rencana pernikahan kami.

Meskipun sampai hari ini aku masih belum bisa menghapal nama-nama siapa saudara satu bapakku itu, aku mencoba memahami perasaan mereka sebagai makhluk Allah. Berat bagiku untuk mengakui mereka sebagai keluarga, lebih baik tak mengenal mereka.

Namun aku berpikir bahwa mereka pun tidak ingin lahir dalam kondisi seperti ini. Semua keputusan orang tua kami di masa lalu adalah keputusan terbaik dengan kapasitas ilmu mereka saat itu. Ibuku yang ditikam oleh sahabatnya sendiri saja bisa bersabar dan menerima kenyataan.

Hari ini kami berlima telah memiliki bahteranya masing-masing, tentu doa terbaik agar bahtera ini mendarat hingga pelabuhan Jannatullah. Hubungan kami dengan bapak kandung kami pun lebih baik dibanding ketika kami satu rumah dahulu. Meski hanya bertegur sapa dan mengobrol di momen hari raya atau sebuah kelahiran. Kami mencoba tetap menyambung silahturahim dengan laki-laki yang telah memasuki masa purna bakti tesebut.

Kini aku mulai berpikir untuk menuruti nasihat suamiku untuk mengetahui siapa saja enam saudara satu bapakku itu.

acceptance

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page