Hari ini kesadaran tentang kesehatan mental sangat subur tumbuh. Apalagi era digital yang membuat transparan. Namun, bagai pisau bermata dua, informasi yang beredar butuh validasi dan konfirmasi kebenaran.
Dalam media sosial dan internet, semua orang memang bebas bicara. Namun, kalau overclaim atau self diagnose adalah bahaya. Belakangan ini kita mudah mengklaim, mendiagnosa diri atau malah menyalahkan. “Duh ini semua karena trauma masa lalu aku!!!”
Trauma masa lalu memang berpengaruh terhadap hari yang kita jalani. Namun, bukan yang utama. Kita bisa memilih mengikutinya atau menerima dan memperbaikinya.
Bisa jadi sedih yang dirasakan saat ini karena teringat peristiwa lampau yang kejadiannya hampir mirip.
Bisa jadi marah yang dirasakan hari ini karena pemicunya yang serupa di beberapa tahun lalu.
Apapun itu, semua adalah pilihan kita mau menyikapinya seperti apa. Kita bisa larut lalu menyalahkan peristiwa dan orangnya? Atau kita mau menerima dan memperbaikinya?
Kita yang punya peran dan andil–ini sesuatu yang bisa kendalikan dan bisa diubah pastinya.
Tetapi, orang lain bukan pula kejadian yang lalu adalah tidak bisa diubah atau kita kendalikan.
baca juga: Belajar Marah dengan CerdasKejadian Berulang, Kenapa Ujian ini berulang terus?
Jika kita telaah sebetulnya pikiran, tubuh sering kali memberikan sinyal untuk diselesaikan. Peristiwa terus berulang, polanya sama, kejadiannya mirip-mirip, dihadirkan orang yang kadang berbeda mengajarkan diri untuk menyelesaikan.
Salah satu Ustad juga pernah memberikan kajian terkait hal ini. Kenapa kita merasa ujian berulang, padahal di tempat yang berbeda. Sebab respon kita terhadap “kejadian” itu masih belum tepat. Apalagi kita menghindar dari ujian tersebut, yang terjadi kita bertemu terus dengan kejadian yang mirip-mirip.
Contoh:
Ada orang yang tidak suka disindir, saat disudutkan, saat disalahkan, saat tak dianggap akan bertemu dengan pola-pola yang sama dalam hidupnya, bertemu dengan masalah yang mirip dengan emosi-emosi tersebut.
Salah satunya pernah diceritakan oleh Terapis saya, beliau menceritakan ada seorang anak yang memiliki orang tuanya sudah sepuh.
Orang tua tersebut selalu merasa kurang saja atas apa pemberian anaknya, suka menyindir kalau mau sesuatu, anaknya disalahkan, si anak entah kenapa merasa tersinggung dan marah. Di lingkungan pertemanan pun sama ada sindir menyindir, disalahkan. Lihat pola-pola sama.
Kemudian sang anak bertanya pada diri sendiri “kenapa ya saya sering bertemu dengan peristiwa-peristiwa semacam ini, disalahkan, disindir dan saya tidak bisa menerima?”
Sambil mengijinkan sedih dan marahnya , ia mencoba menggali ingatan di dalam alam bawah sadarnya. Bertemulah sumber utamanya, apa?
Ternyata saat ia kecil termasuk dekat ayahnya. Termasuk orang yang dibela ayahnya, saat SMP ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi. Dan sang ayah berubah total menjadi galak, menjauh dan keras.
Traumatik di masa ini, seperti kehilangan dan kesepian. Ada diri yang tidak menerima menjadikan ia punya ekspektasi hingga usia 32 tahun. Belasan tahun ia bawa persepsi ia ingin disayang ayahnya seperti dulu, jadi orang yang dibela dan diutamakan.
Kini semua berbeda, ini yang perlu diselesaikan, adalah menerima, melepaskan dan memaafkan. Seperti pada ajaran utama agama kita, Iman Kepada Qodo dan Qodar.
Persepsi ini yang ada di pikiran dan perasaan. Ia ingin disayang dan diutamakan. Tak mau disalahkan.
Tanpa sadar emosi itu karena energi, ada di dalam tubuh, memancar dan menarik hal yang sama, tak mau disalahkan. Jadi malah merasa disalahkan.
4 Hal yang Menghambat Kita Keluar dari Lingkaran Trauma
- Menyangkal perasaan bahwa kita terluka, makin kita menyangkal dan berpura-pura baik-baik saja. Padahal sedang tidak baik itu akan membuat proses penyembuhan luka hati kita semakin lama dan sulit. Terima semua yang kita rasakan, ucapkan apalagi setelah sholat fardhu :”Ya Allah, saya merasa marah dan tidak nyaman dengan respon anak hamba.”
- Memaksakan diri untuk segera melupakan. Melupakan dan memaafkan bukan perkara yang sama ya. Salah kaprah yang terjadi di sekitar kita saat ini. Ibaratnya: Melupakan berhubungan dengan hardware kita, sementara melupakan itu dengan software kita. Jadi kalau lupa itu ada kerusakan di otak kita. Yang perlu dipelajari adalah bagaimana respon dan reaksi emosi kita ketika mengingat sesuatu kejadian yang tidak mengenakan hati. Melupakan bukan perosalan yang mudah, karena semakin tidak menyenangkan dan emosional peristiwa yang dialami akan semakin sulit biasanya untuk dilupakan.
- Menyalahkan orang lain atau situasi yang membuat kita terluka. Kita tidak akan cepat pulih jika hanya menyalahkan kejadian trauma ini. Rasa dendam justru akan membuat kita semakin gelisah dan sakit. Kita menyembuhkan diri bukan untuk membenarkan perilaku orang yang menyakiti kita, tapi untuk kesehatan mental diri kita sendiri.
- Membiarkan waktu yang akan menyembuhkan. Salah kaprah yang terjadi adalah karena proses “pembiaran nanti juga sembuh”. Tanpa melakukan apapun, waktu hanya bisa memperparah keadaan. Kita harus bergerak, berupaya dan berlatih agar bisa menyembuhkan diri dan bisa merespon kejadian dengan lebih baik.
baca juga: Membasuh Luka Pengasuhan
Penutup
Apa yang terjadi di masa lalu, mari kita coba terima. Agar hidup kita di saat ini, bukan di masa lalu. Dengan bantuan professional kita bisa memaknai memori atau ingatan masa lalu kita diedit dan dimaknai lebih positif. Kita yang berperan memilih makna. Agar tidak mempengaruhi sudut pandang kita hari ini. Dari sekian rentetan kejadian yang awalnya menyakitkan, yakinlah bahwa Allah sedang mempersiapkan takdir yang baik untuk kita. Bersemangat dan berproses untuk pulih dengan Tauhid.
Semoga Allah mudahkan, kira-kira kita next bahas apalagi ya?