Selepas menikah, saya dan suami menempati rumah kontrakan sederhana di Kabupaten Bogor. Alasannya saat itu saya masih duduk di bangku perkuliahan pascasarjana. Saya yang tengah menjalani studi di salah satu kampus kota hujan itu juga harus bersabar karena suami yang sedang merintis usahanya. Tidak lama dari menikah, kami dikaruniai buah hati pertama.
Saat itu saya berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan segala urusan perkuliahan tanpa menunda-nundanya. Pikiran saya, secepat dan tidak lebih dari 4 semester untuk menyelesaikan Pendidikan pascasarjana. Jurusan yang saya tempuh adalah bidang eksakta, sehingga saya tahu tugas akhir saya minimal saya menyediakan satu tahun. Artinya, dalam satu tahun pertama segala perkuliahan harus diselesaikan agar kelak begitu anak pertama kami lahir saya bisa fokus di tugas akhir saja.
Alhamdulillah, sebelum waktunya melahirkan tepat di semester 2 semua SKS perkuliahan di kelas sudah saya selesaikan. Di libur perkuliahan, saya melahirkan. Artinya saya tinggal fokus menyelesaikan penelitian dan tugas akhir.
Dilema Melahirkan Anak Pertama dan Menyelesaikan Perkuliahan
Di tengah kesulitan pasti ada kemudahan.
Salah satu ayat Al Quran yang saya pegang. Melahirkan anak pertama di tanah rantau tentu tidak mudah. Jauh dari orang tua, yang sejatinya kehadirannya ingin ada saat harus melewati fase melahirkan anak pertama kalinya. Dengan segala pertimbangan yang ada, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk melahirkan di Jakarta tempat kediaman mertua.
Alhamdulillah, saya harus melahirkan cito Caesar atau proses melahirkan Caesar mendadak karena diagnosa pembukaan stagnan tidak ada kemajuan selama beberapa hari. Meskipun begitu, ada ibu dan bapak mertua yang membantu kami beradaptasi menjadi orang tua baru.
Setelah satu bulan melahirkan, suami mengingatkan untuk segera menyelesaikan studi tersebut. Awalnya saya ragu dengan kondisi yang saat itu bisa dibilang cukup terbatas. Suami menyakinkan bahwa saya bisa menyelesaikan.
Allah pertemukan saya dengan kedua pembimbing yang membuat saya melewati tahap akhir.
Saat berkomunikasi dengan para pembimbing tentu saya dibantu dengan internet provider yang suami pasang di rumah mertua yakni IndiHome.
Suka Duka Menjadi Mamasiswa
Menjadi seorang mamah baru yang tidak ada sekolahnya sementara juga punya tanggungjawab untuk menyelesaikan sekolahnya tentu penuh tantangan. Apalagi saat itu menjadi mamasiswa sepenuhnya tanggung jawab dan keinginan saya. Itu semua saya tempuh dengan kocek pribadi artinya tanpa beasiswa di awal.
Teman-teman bayangkan saat itu kondisi ekonomi keluarga juga masih belum stabil, suami yang baru merintis bisnis ekspor dan istri yang kuliah dengan dana pribadi, sangat menegangkan sekali bukan. Tetapi dengan segala dinamika yang ada kami yakin Allah tidak akan pernah salah memberikan ujian hidup.
Meskipun dari awal saya tidak mendapatkan beasiswa, tapi Allah kasih kesempatan untuk mengikuti salah satu beasiswa yang mencover biaya satu semester saya kala itu. MasyaAllah.
Selain “keajaiban” beasiswa, mendapatkan teman-teman yang suportif pada ibu hamil saat itu dan dosen-dosen yang beranekaragam.
https://www.instagram.com/p/BeRTzX5FF9F/
Kedua pembimbing yang saya daapWalaupun berbeda karakter, prinsipnya banyak sekali kemudahan. Kami tinggal kurang lebih selama satu tahun di Jakarta selama saya melakukan penelitian di Bogor. Jarak yang tidak pendek saat itu. Saya berangkat pukul 7 pagi untuk melakukan penelitian dan pulang jam 5 sore dari Bogor. Pulang Pergi menggunakan Bus Kota.
Perjuangan tetap berusaha agar anak tetap full ASI dan penelitian on track itu juga sangat perjuangan. Komunikasi dengan pembimbing kala itu dari rumah menggunakan pesan singkat dengan aplikasi WhatsApp menggunakan internet provider yang dipasang suami sangat membantu. Bagaimana saya harus mempersiapkan persentasi saat seminar pra penelitian, tentu mendapatkan kemudahan dengan kehadiran internet provider di rumah.
Mulai mencari beragam jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian. Baik dalam dan luar negeri bisa digapai dengan internet. Oiya, for your information ya teman-teman saya menempuh Pendidikan strata dua ini di tahun 2014-2016. Saat itu beragam aplikasi belum sebanyak sekarang. Jadi keperluan mencari data dan tren banyak saya lakukan di rumah dengan internet provider.
Kebutuhan pelanggan internet provider tidak terbatas hanya di internet. Sebuah cerita kenapa akhirnya suami dan adiknya memutuskan memakai IndiHome sebagai internet provider. Awalnya memang mereka sekeluarga hanya memakai telepon saja. Lalu seiringnya perkembangan zaman, kebutuhan pelanggan pun meningkat.
Tidak hanya telepon untuk keperluan silahturahmi keluarga juga bisnis orang tua, tapi internet menjadi sebuah kebutuhan pelanggan. Jadi paket-paket yang disediakan oleh IndiHome ini menjawab sekali sih kebutuhan pelanggan masa kini. Mulai dari telepon dan internet, ada juga telepon, internet dan TV. Serta beragam paket add-on lainnya. Pengembangan hiburan oleh IndiHome sangat terasa, sebab, saat ini kalian juga bisa menikmati langganan Netflix dan Disney+ Hotsar dalam satu tagihan dengan internet . Wah, ini seperti menjawab kebutuhan masa kini ga sih?
Rasa Ingin Menyerah Itu Selalu Ada
Lanjut lagi cerita mengenai tentang perjalananku menjadi mamasiswa alias studentmom. Kalau bilang kuliah dan punya itu anak gampang. Saya tentu berbohong. Rasa ingin menyerah itu selalu saja ada.
Apalagi saat melihat wajah anak bayi laki-laki yang aku lahirkan di bulan Agustus tersebut. Wajahnya yang tanpa dosa, berat sekali saya meninggalkannya.
“Mas, lihat anak kita lucu banget. Aku ga tega ninggalinnya.”
“Kalau kamu berhenti kuliah karena dia, apa dia ga sedih melihat mamahnya berhenti kuliah karena dirinya nanti?…kalau kamu lihat si kecil lagi jadikan ia alasan sebagai penyemangatmu menyelesaikan studi ini.”
Meneliti sebuah pekerjaan tentang bakteri dan teknologi biologi lainnya, tentu penuh tidak kepastian. Apalagi di sekeliling saya, di kelilingi banyak mahasiwa yang penelitiannya lebih dari 1 tahun. Rasa was-was sering bergelayut. Ada episode salah satu alat mati, bakteri tidak bekerja, kecapean di tengah jalan. Ada juga ketika anak sakit, perbedaan pola asuh dengan ibu mertua, miss komunikasi dengan suami. Ya begitu, banyak pastinya rasa-rasa yang datang membuat “aku tuh pengen udahan.”
Dengan bantuan internet, saya pun bisa terbantu mereleasenya dalam menuangkan sebuah prosa, fiksi, cerita, curhat baik di media sosial dan blog yang masih gratisan kala itu. Rasanya ketika membaca seperti journaling perasaanku di hari itu.
Akhirnya
Tentu dengan kemudahan dan izin dari Allah yang pada akhirnya, saya bisa berkata “akhirnya lulus.” Walaupun sebuah kelulusan adalah awal mula perjalanan lainnya. Namun, kisah merajut Pendidikan pascasarjana sembari mengawali biduk rumah tangga dan dikarunai buah hati tentu memberikan warna tersendiri.
Semua kisah kehidupan besar atau kecil setiap manusia bisa bernilai ketika kita bisa memetik hikmah dan maksud Allah di sana. Semoga kita semua dikaruniai kemampuan demikian.
Semoga bermanfaat, aamiin.
Masya Allah perjuangan mamasiswa keren banget mbaaaak!
alhamdulillah ada kemudahan internet ya padahal zaman itu masih minim juga koneksi, enggak seperti sekarang.
Masya Allah mbak Shaf… pasti tak mudah jadi mamah baru dan harus belajar kejae study lanjut. Tapi luarbiasa perjuangannya sampai di titik ini ya mbak.
Masya Allah barokalloh