Melawan Mitos Parenting dengan Content Writer!

Photo of author

By Shafira Adlina

lawan mitos parentingMasih segar ingatan saya, ketika tersiar kabar berita seorang bayi berusia 40 hari yang meninggal di daerah Jakarta Barat. Saat itu hasil investigasi polisi menjelaskan bahwa potongan pisang dalam pencernaan si bayi disebut jadi pemicunya. Setelah ibu si bayi diperiksa, dan mengetahui tidak tahu anaknya belum boleh mengonsumsi makanan lain selain ASI. Duh, rasanya miris sekali ya temans?

Ternyata di sekitar kita banyak sekali yang masih terjebak dalam mitos parenting. Sama seperti Ibu itu, saya sendiri pernah juga mengalaminya.

“Anaknya nangis terus tuh, kasih pisang kerok aja!”

Padahal saat itu anak saya masih berusia 4 bulan. Salah satu mitos parenting yang masih bergelayutan di  pemikiran orang kebanyakan adalah MPASI dini.

Makanan Pendamping ASI atau MPASI juga seharusnya diberikan untuk mendampingi bayi selain ASI, yaitu saat menginjak usia 6 bulan. Dengan kata lain, sebelum memasuki usia tersebut, ASI atau susu formula masih menjadi satu-satunya makanan utama bagi bayi. Bayi menangis belum tentu indikasinya karena kelaparan. Bayi bisa saja merasa tidak nyaman karena kedinginan, kepanasan, popoknya penuh atau buang air besar.

Kita Masih Terjebak dalam Mitos Parenting

Selain mitos MPASI terlalu dini yang dianggap menyelematkan bayi rewel tadi. Di dunia parenting masih banyak mitos tradisional yang membuat pengasuhan kita terhadap jadi terasa berat. Contohnya :

#1. Bayi menangis itu karena lapar.

Selain MPASI dini yang diberikan karena bayi selalu menangis. Saya pun teringat waktu hari kedua saya menjadi Ibu. Setelah lelah menjalani operasi caesar, ternyata ASI tidak keluar sederas yang diharapkan.

Bayi mungil yang masih merah itu menangis kencang tak mau berhenti. Pikiranku panik dan kalut. Belum lagi bekas operasi yang belum sembuh, ditambah tekanan dari kedua mertua saya yang seakan menyalahkan kenapa ASI-saya tidak banyak.

“Udah kasih formula aja, kasian nangis terus!”

Hancur hati saya mendengar kalimat itu, belum sempat kutangkis dengan sejuta kata. Bapak mertua sudah lari tunggang langgang mencari suster rumah sakit untuk mendapatkan susu formula.

Alhamdulillah, suster di Rumah Sakit saya melahirkan itu ternyata pro-ASI. Iya melihat kondisi bayi saya yang menangis terus. Sambil memeriksa bahwa ASI saya masih normal karena masih keluar setetes demi setetes.

Ia pun sambil memeriksa ternyata bayi saya buang air besar. Sambil ia menjelaskan kepada kami bahwa bayi menangis merupakan cara berkomunikasinya. Bayi belum bisa bicara pada orang di sekelilingnya, jadi kita harus peka apa yang membuat tidak nyaman. Bayi menangis belum tentu selalu lapar. Bayi bisa memberi tahu bahwa ia tidak nyaman, kepanasan, kedinginan atau popoknya terasa penuh.

mitos parenting
Photo by Tim Bish on Unsplash

#2. Bayi jangan digendong terus nanti bau tangan.

Saat seusai melahirkan anak pertama saya, sering kali saya diceramahi :

“Kalau bayinya nangis, diemin aja. Diangkat melulu nanti jadi bau tangan.”

Tak jarang teman seprofesi sebagai ibu juga bercerita bahwa ia dilarang untuk sering mengendong bayi yang dilahirkannya. “Nanti jadi manja, enggak bisa mandiri, apa-apa ngerepotin orang tua!”

Percayalah teman-teman semua, ketika mendengarkan bayi menangis itu jauh lebih merepotkan daripada menggendong dan mengikutsertakannya dalam hal-hal yang harus diselesaikan sang ibu atau ayah. Saat dilarang untuk mengendong seakan fitrah dan insting kita dilawan untuk mengendongnya.

Ternyata secara ilmiah juga terbukti dengan menggendong, bayi akan merasa tenang dan tidak rewel. Bonusnya kedekatan kita dengan bayi juga akan semakin terjalin. Bayi yang sering digendong dan diajak bicara akan kemampuan memiliki kemampuan berbicara yang lebih baik. Kenapa? Karena indera pendengarannya sebenarnya sudah aktif semenjak di kandungan.

Namun, ini bukan berarti bayi harus selalu digendong terus-menerus. Pada saat mereka sudah beranjak besar sesuai tahapan perkembangannya, bayi perlu diberikan waktu untuk melantai (floor time) untuk menstimulasi kemampuan motorik kasar selanjutnya seperti mengangkat kepala, tengkurap, berguling, duduk, maupun merangkak hingga berjalan.

mitos parenting#3. Unyeng-unyeng lebih dari satu artinya anaknya pintar tapi nakal.

Dr. Andisty Ate dalam situs alodokter.com memaparkan bahwa tidak ada korelasi antara unyeng-unyeng dengan kondisi emosi dan intelejensi anak. Pada puncak kepala anak, unyeng-unyeng hanyalah sebuah titik di mana rambut tumbuh melingkar. Hal itu merupakan suatu variasi anatomis antara rambut dan kulit kepala.

#4. Bayi harus dibedong kencang agar kaki tidak bengkok.

Mitos selanjutnya yang masih dipercaya adalah masalah bedong. Menurut dokter anak dan beberapa bidan yang saya temui secara langsung mereka menyampaikan hal yang senada bahwa tidak ada hubungannya membedong bayi dengan pembentukan tulang kaki bayi. Dokter spesialis anak juga menyarankan agar kita tidak membedong rapat-rapat anaknya. Kalau kenapa kaki bayi kita bengkok, tidak perlu khawatir semua kaki bayi memang bengkok di awal-awal kelahirannya karena posisi di dalam rahim ibunya. Seiring menguatnya tulang bayi, maka kaki akan kuat dengan sendirinya.

#5. Cara cepat agar anak nurut dengan sogokan.

“Ayo makan, kalau kamu makan nanti mamah beliin mainan!”

Familiar dengan ucapan ini? Tentunya. Selanjutnya “sogokan” seperti jalan pintas yang sering diambil orangtua kalau sudah lelah ketika anaknya enggak bisa dibilangin.

Namun, sogokan untuk anak ini ibarat penggunaan AC ketika udara panas. Ketika kita di dalam rumah jadi adem karena memakai AC itu, tapi semakin besar penggunaan AC ya udara di luar juga semakin panas. Apalagi, dampak jangka panjangnya jadi lebih buruk buat Bumi.

Sama seperti menyogok, mengancam, membohongi, mengabaikan anak, dan mendramatisir proses pengasuhan. Semua gaya pengasuhan  itu, sering dijadikan “senjata” oleh kita sebagai orangtua untuk mendapatkan hasil yang instan. Namun, pada akhirnya senjata itu menyasarkan peluru tepat di kepala kita sendiri.

Melawan Mitos Parenting dengan Edukasi

Selain 5 mitos parenting di atas masih banyak mitos-mitos yang masih bersemayaman di sekitar kita. Jika dibiarkan tentu tidak mungkin mitos akan berkembang menjadi kepercayaan tanpa didasari fakta dan kebenaran. Edukasi dunia yang serba digital saat ini membuat manusia serba logis dalam berpikir. Ketika kita tidak mengetahui sesuatu dan mencari jawaban cepat. Mesin pencari adalah solusinya. Dunia internet dipakai sebagai keberlanjutan dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang melahirkan banyak fenomena.

Orang-orang akan sering berkata “gooling aja dulu”.

Fenomena sosial ini juga melahirkan lebih dari satu pandangan. Dan ini peluang kita untuk melawan mitos parenting. Dengan edukasi literasi dunia digital. Di mata kita saat ini, kebenaran dalam ilmu hanya diajarkan secara indoktrinasi oleh para guru tapi harus bisa ditemukan sendiri dalam proses pencarian di dunia maya.

Edukasi Lewat Content Writer

Edukasi yang bisa kita lakukan adalah menjadi content writer. Menulis memang menjadi pekerjaan impian semua orang. Menulis bisa dilakukan hampir semua orang, tapi tidak sekadar menulis. Menulis tujuan memberikan edukasi menjadi misi tersembungi untuk saya.

melawan mitos dengan edukasi
Photo by Thought Catalog on Unsplash

Apa itu content writer?

content writer merupakan penulis yang membuat konten untuk memberikan informasi. Di era sekarang istilah content writer ini sudah memiliki banyak variasinya. Sebagai content writer kita bisa menulis di media online, situs berita, portal UGC (user genaret content), blog pribadi atau media sosial.

Blog Menjadi Sarana Edukasi

Hal yang bisa saya lakukan untuk mengedukasi sekitar saya adalah dengan membuat blog ini. Blog yang saya fokuskan ke seputar parenting, mothering hingga family. Tujuan besarnya untuk menghempaskan stigma-stigma keliru yang bersarang. Salah satu trigger terbesar saya adalah pemikiran bahwa setiap ibu yang melahirkan secara operasi sesar harus sesar kembali. Hal itu saya tuangkan berdasarkan riset kecil dan pengalaman pribadi di artikel saya : pengalaman VBAC.

Merambah Ke Situs UGC

Sambil merawat blog pribadi ceritamamah.com ini, saya juga meluaskan semangat melawan mitos parenting lewat edukasi ke berbagai platform blogging lain dan situs-situs UGC seperti kompasiana, kumparan, IDN Media dan Hipwee. Alasannya sederhana, semakin banyak orang yang akan membaca konten-konten seputar parenting yang saya gaungkan.

Tips Menjadi Content Writer

Content writer atau penulis konten menjadi salah satu alat untuk melawan mitos parenting ini. Maukah kalian mengambil bagian peran ini? Yuk, ikuti tips bagaimana memulai menjadi content writer!

#1. Perbanyak Baca!

Menulis pada dasarnya mengingat ilmu. Jika teman-teman bingung bagaimana caranya menulis konten. Mari coba dengan perbanyak baca. Penulis konten yang baik adalah orang yang suka membaca. Semakin banyak yang kita baca, semakin besar peluang kita untuk mengalirkan gagasan yang berkualitas.

Ketika kita banyak membaca, secara tidak sadar kita menyerap berbagai elemen teks yang ada, dan perlahan-lahan menerapkannya dalam tulisan kita. Dengan membaca juga  akan membantu kita mempelajari dan memahami sudut pandang yang berbeda terkait suatu topik. Kita akan mendapatkan insight baru, bagaimana caranya membingkai cerita, bagaimana mengembangkan ide-ide baru, dan lainnya.impactful writing

#2. Mulailah Menulis Tanpa Menyunting!

Terkadang yang membuat kita terhambat saat menulis konten adalah gangguan untuk menyunting tulisan itu. Mulai dari sekarang cobalah menulis tanpa memikirkan suntingan atau proses pengeditan tulisan itu sendiri.

Menulis dan mengedit adalah dua hal yang tidak boleh dilakukan bersama-sama. Kenapa? Karena saat menulis kita menggunakan otak kanan, sementara saat mengedit kita mengunakan otak kiri. Mari tahan keinginan kita untuk mengedit tulisan sebelum menyelesaikannya.

melawan mitos parenting
Photo by Dan Counsell on Unsplash

#3. Mulai Publish Tulisan di Blog

Nah, langkah selanjutnya beranikan diri untuk mempublikasikan hasil tulisan kita di media online. Kita bisa mulai dari blog yang gratis seperti kompasiana, medium, blogspot dan wordpress. Selain itu cobalah media UGC yang saya sebutkan sebelumnya, beberapa situs menyediakan sistem poin dan reward yang dapat menghasilkan uang.

Jika kamu memiliki dana untuk investasi cobalah buat blog dengan domain sendiri. Jangan lupa untuk menyertakan foto yang menarik agar tulisan kamu semakin banyak dibaca orang.

#4. Minta Pendapat Ke Teman Sekitar

Ketika kita hendak atau sudah mempublish tulisan kita. Cobalah untuk menunjukkan kepada teman atau komunitas content writer yang ada di sekitar. Kita juga bisa memanfaatkan  jejaring media sosial untuk berinteraksi dengan penulis konten yang berpengalaman.

#5. Terus Belajar dan Ambil Hikmah di Mana Saja

“Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan” itu yang dikatakan oleh ulama besar kita, Imam Syafi’i.

Menjadi bahan bakar saya untuk terus belajar dan mengasah kemampuan menulis. Salah satunya dengan mengikuti certified impactful writing. Dengan harapan saya bisa lebih banyak belajar membuat tulisan yang berdampak bagi banyak orang dan menghapus mitos-mitos parenting.

membaca buku
Photo by John-Mark Smith on Unsplash

Penutup

Itu dia seutas cerita saya mengenai bagaimana content writer bisa memberikan edukasi dan melawan mitos parenting. Yuk, ambil langkah jadi content writer. Jangan sampai kita hanya jadi korban perubahan, mari ambil dari pengubah keadaan dan lihat hasilnya perubahan di sekeliling kamu!

mitos parenting

shafira adlina

2 thoughts on “Melawan Mitos Parenting dengan Content Writer!”

  1. aku sendiri waktu SD sudah denger mitos soal unyeng-unyeng dan percaya aja apa yang dibilang temen. ternyata itu cuma mitos belaka
    memang untuk hal-hal tertentu, sekarang ini masih ada juga keluarga yang mengikuti apa kata orang tua terkait soal “kepercayaan”

    aku juga ambil course impactful writing mbak, karena waktu itu aku berpikir course itu sebuah invest juga. padahal mungkin coursenya bisa aja belajar sendiri di google. cuman aku pengen beda dan pengen nyari ilmu lain yang mungkin ga ada di google

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page