“Dek, ayo pinjami mainannya sama temennya.”
“Jangan pelit, ayo berbagi!”
Ayo, siapa yang ga asing dengan kalimat-kalimat senada di atas. Di mata orang dewasa, sifat-sifat egois terlihat begitu buruk. Anak dianggap “Pelit”, “Gak punya empati”, “Mau menang sendiri”, “harus dituruti keinginannya” dan semacamnya.
Sifat-sifat tersebut di mata kita, orang dewasa dianggap sebuah keegoisan sehingga kebanyakan dair kita ingin anak meredam sifat-sifat tersebut. Padahal jika ego anak tidak tumbuh atau cedera, justru akan muncul saat dewasa.
Jadi ketika kita menemukan orang dewasa yang masih muncul sifat-sifat tersebut adalah sebuah tanda egonya cidera atau tidak tumbuh atau tidak tuntas.
Memahami Sifat Egosentris Anak
Fase egosentris merupakan tahap di mana anak menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat pemikiran dan perbuatannya. Anak akan berpusat pada diri sendiri dan menilai segalanya dari sudut diri sendiri dalam memandang segala hal.
Pada tahap ini juga anak akan melalui periode sensitive/ peka yakni masa-masa dalam perkembangan saat seseorang menjadi sangat responsive pada jenis-jenis pengalaman tertentu.
Sebagai orang tua, jangan lupa kita harus memahami bahwa anak kecil bukanlah orang dewasa versi mini. Aspek dan tahap perkembangan mereka berbeda, begitupun pertumbuhan otak mereka yang belum sempurna. Perlu stimulasi dan afeksi terhadap orang tua. Inilah pertumbuhan otak anak:
Usia 0-18 bulan: Pertumbuhan Otak mencapai 25%
Usia 18 bulan -4 tahun: Pertumbuhan Otak mencapai 50%
Usia 4—8 tahun: Pertumbuhan Otak mencapai 80%
Usia 8-18 tahun: Pertumbuhan Otak mencapai 100%
Otak manusia semakin dini semakin plastis mudah dibentuk, mudah distimulasi. Semakin dini usia semakin mudah distimulasi, semakin bertambah usia makin lambat dalam merespon stimulasi. Aku sendiri merasakannya, ketika sekarang menghapalkan ayat/teks perlu beberapa kali diulang. Sementara anakku yang masih usia dini, hanya 2-3 kali mendengarkan sudah bisa menghapal. masyaAllah. Artinya, itu memang fakta di lapangan semakin muda usianya semakin mudah stimulasinya.
Setiap anak yang telah dibekali oleh Allah satu trilyun sel otak dengan kecepatan perkembangan yang sangat cepat dan luar biasa, akan mengalami masa-masa yang penting dan kritis yang akan mempengaruhi pembentukan karakter dan kepribadian anak kelak saat dewasa.
Fase egosentris terjadi pada semua anak usia dini..apapun sifat dasarnya. Memang sebagian anak ada yang memiliki ego yang lebih kuat tapi sifat egosentrisnya kurang lebih sama.
Lalu apa yang harus kita lakukan mendapati anak yang terlihat egois dan menang sendiri?
Dalam diskusi WAG, Bunda Nurhamida pernah juga menjelaskan bahwa Fase Egosentris adalah fase yang menandai proses perubahan cara anak dalam memandang dirinya terhadap lingkungannya, baik terkait ranah afeksi, kognisi, dan psikomotor.
Dalam rentang waktu 0-6 tahun yang juga ditandai dengan adanya masa peka, maka orang tua harus mempersiapkan diri dengan bekal ilmu pengasuhan anak yang cukup, utamanya yangberlandaskan tuntunan agama yang dianut. Dalam hal ini, sebagai muslim,kita mendapatkan bimbingan dan contoh yang sangat lengkap dan sempurna dari Sumber teladan kita Rasulullah Sallahualaihim wasalam.
Pada anak usia dini (di bawah 7 tahun) sifat ego tersebut perlu dirawat. Supaya kokoh individualitasnya, agar tak terluka egonya. Ego adalah diri. Manusia perlu mengenal dirinya, kebutuhannya, keinginannya serta emosinya terlebih dahulu.
Anak bukanlah kertas kosong yang bisa kita ukir-ukir dengan semau kita. pada dasarnya Allah telah mengilhami sifat dan fitrah kebaikan. Tugas kita sebagai orang tua adalah menumbuhkannya dengan optimal.
Dasar dari kebaikan yang tumbuh seiring usia manusia adalah tahapan mengenali diri dan refleksi diri.
Bayangkan bagaimana bisa seseorang memperbaiki diri jika tidak mengenali dirinya? Tidak tahu mana yang perlu diperbaiki.
Maka orang dewasa yang masih memiliki sifat kekanak-kanakan tentu mereka pun tidak menyadarinya. Mereka belum mengenal dirinya.
Ustad Harry Santosa juga pernah menjelaskan bahwa ego ini sama dengan (fitrah individualitas) yang akan mempengaruhi Self Acceptance & Self Awareness, agar kelak anak mampu hidup dalam sistem sosialnya.
Efek Cidera Ego pada Anak
Semoga sampai sini teman-teman sudah mulai meraba apa sebetulnya akibatnya kalau kita memaksakan ego pada anak, atau membiarkannya tanpa mengarahkannya dengan kasih sayang. Tentu cidera ego seperti yang disampaikan di atas hingga bisa muncul ketika pribadi dewasa anak nanti.
Kita sebut dengan kekerasan pada fitrah individualitas, seperti : kurang penerimaan, kurangnya kesadaran diri karena terlalu dikendalikan, tidak diberi ruang untuk menjadi diri sendiri.
Apa yang terjadi? Ego anak cidera atau rendah percaya diri. Berdampak pada mental korban atau merasa tidak berharga.
Menurut penelitian , jika pada masa 0-6 tahun ini, fase egosentrisnya tidak dikelola dengan baik, maka akan mempengaruhi perkembangan tiga ranah tadi, afektif, kognitif, dan psikomotoriknya.
Di antaranya perilaku mementingkan diri sendiri, tidak toleran, merendahkan orang lain, rendah diri, temperamental, tidak dapat mengambil keputusasn, mudah menyerah, dsbnya akan mudah ditemui pada mereka yang masa egosentrinya tidak dikelola dengan benar.
Contohnya adalah
Sifat pelit atau minim empati dan orang yang tidak enakan, alias orang dewasa yang mengutamakan orang lain dibanding dirinya adalah orang yang cidera egonya.
Kenapa? Sebab semenjak kecil terbiasa dikendalikan. Anak dipaksa memberi sebelum merasa “cukup” ataupun dibujuk untuk mengutamakan orang lain.
Padahal kalau kita amati, anak-anak yang terlihat pelit, tak mau berbagi itu hanya sebentar. Mereka sedang mengenali kebutuhannya, maka bantu mereka. Kita dapat membantu validasi kebutuhan anak
Contoh kalimatnya:
“Oh, kakak belum bisa pinjamkan ya?Dek.. Kakak sedang pakai mainannya, sabar ya.”
Lalu jika konten ini disebarluaskan, bubuk-bubuk netijen akan berkata “kan harus diajarin berbagi”
Begini Ibu-Ibu, Bapak yang lagi belajar menjadi orang tua nih
“Ngajarin” anak itu bukan berarti dikasih tau, didikte harus begini harus begitu..
Ada banyak metode yang lebih efektif yang bisa dilakukan kita dalam menanamkan value ataupun mengajarkan adab pada anak.
Misalnya menanamkan value bisa melalui ngobrol, bercerita, bermain peran, mencontohkan, mendiskusikan apa yang dilihat, membahas apa yang diajarkan di sekolah atau hal-hal yang sedang terjadi di sekitar, atau yang sedang anak ingin bicarakan.
Kedua, untuk sifat ingin menang sendiri
Sejak kanak-kanak ada orang yang dianugerahi egonya lebih kuat, jika ego ini yang cidera maka pada dewasanya akan muncul dalam sikap “ingin menang sendiri”, merasa superior. Apa sisi lain dari ego yang tak tumbuh? mental korban, merasa tak berguna.
Padahal anak-anak yang masih ingin menang sendiri, hanya sedang mengidentifikasi dirinya dan apa yang dipikirkannya. Maka bantu mereka mengenali dirinya dulu, baru perluas cara pandang anak atau perspektifnya.
Suatu waktu terjadi drama reog antar kakak dan adik, sebagai wasit yang ingin menenangkan, tentu kita harus menenangkan diri dulu dong, agar tidak melukai fitrah individualitas si kakak dan si adik. Baru bisa masuk ke percakapan di bawah ini:
M: Oh Mas Sakha maunya yang ini ya
S: Iya, ini kan lebih bagus
M: Kecewa ya memang kalau tidak sesuai yang kita mau?
S: Iyaa, Sakha kan maunya yang ini.. Hafsah yang itu aja huhu
(Beri waktu sampai anak cukup tenang)
M: Sudah tenang, Nak?
S: Iya, tapi beliin lagi yang kayak Hafsah ya Mah..
M: Memang yang punya Mas Sakha kenapa?
S: Ini ngga bisa gerak lagi mobilnyaa
M: Oh, memang maininnya gimana?
S: Gini.. ngga bisa tuh nyemprot airnya
M: Ada cara lain memainkannya?
S: Ngga ada
M: Coba ya, kita lihat.. Apa yang bagus dari mobil ini?
S: Mobil damkarnya kaya asli
M: Oiya, seru kan masyaAllah, ini mobil damkar pertama Mas Sakha kan?? Bisa dimainkan gimana?
S: Gini nih Mah.. Keren ngga?
M: Alhamdulillah ternyata bisa seru juga ya Mas?
Terima kasih sudah mau berusaha melihat kebaikan dari yang Sakha punya ya.. Memang kadang kita ngga bisa dapat semua yang kita mau. Tapi kalau dinikmati, ternyata bisa seru juga ya..
Terakhir Sifat Selalu ingin dituruti keinginannya
Kalau ada orang dewasa yang seperti ini, biasanya kita bilangnya “egois” ya?
Apa sih yang membuat seseorang selalu ingin dituruti keinginannya? Merasa paling berhak, merasa paling “spesial”
Simon Sinek menyebutnya “kesalahan parenting orangtua millenial”.. membuat anaknya merasa “terlalu” spesial dengan selalu memberikan apa yang diinginkan anak, pujian berlebih, sistem reward yang berlebihan bahkan untuk sesuatu yang merupakan kewajiban dan wajar dilakukan anak. Misalnya, bangun subuh terus dapat reward padahal itu kan wajar dilakukan. Nah, pandangan system reward dan punishment juga pernah kutulis di artikel ini:
Reward dan Punishment, bikin betah di rumah kah?
Sesungguhnya yang dibutuhkan anak adalah diterima dan divalidasi baik emosinya, keinginannya, ataupun usahanya..
“Sedih ya Mas ga dibelikan es?”
“Mamah tahu Sakha ingin sekali ya mainan itu”
“Ayah lihat kamu sudah berusaha.. Ayah bangga sekali”
Mengenal Fitrah Based Education
Penutup
Alih-alih meminta anak segera berbagi pada yang lain, Yuk, pahami kebutuhan anak dan bantu mereka mengenali dirinya. Sebab di usia dini inilah mereka akan menunjukkan sifat-sifat dasarnya yang asli, fitrahnya.. yang Allah karuniai sebagai potensi menuju misi hidupnya di dunia. Semangat belajar membersamai anak-anak kita, Bunda dan Ayah.
Ternyata pembawaan people pleaser yang belakangan ini marak dikoreksi dalam berbagai konten bertema self development untuk usia dewasa muda itu, awal mulanya bisa jadi karena pengasuhan yang ternyata kurang memperhatikan fitrah anak ya. Terima kasih banyak atas pengetahuan barunya, Mba.
Iya ya, penting banget untuk tahu cara mengajari anak agar tidak cedera egonya, kadang tuh bingung kalau anak gamau pinjemin mainan ke temennya, bingung harus berbuat apa