Beberapa hari setelah anjuran study form home demi mencegah penyebaran penularan virus Covid-19, tiba-tiba di home facebook saya berseliweran mengenai beberapa teman saya yang asyik menerapkan sistem jajan di rumah dan reward atas kelakuan anak-anaknya. Pada artikel ini saya akan coba membahas mendidik dengan reward dan punishment pada anak.
Saya ambil 2 contoh teman saya yang memiliki kesamaan yang sama. Sama sama memiliki anak lebih dari dua usia sekolah, dan memiliki bayi dan balita.
Singkatnya menurut penuturan keduanya, mereka menerapkan sistem reward dan punishment seperti gambar di atas. Setiap perilaku, kegiatan bahkan adab kebiasan sehari-hari akan mendapatkan imbalan berupa bintang atau uang tunai. Sebagai subsitusi mereka dapat menjajankan hasil uang/bintangnya dengan jajanan yang disediakan di rumah. Namun saya sanksi ketika mereka menerapkannya hukuman kepada anak-anak, ketika mereka berbuat “kegaduhan”.
Awalnya hati saya bertanya ketika melihat treatment yang dilakukan teman-teman di atas. tentu saya tidak bisa menjudge sembarangan karena mereka pun hanya berbagi sebagian aktivitas mereka. Namun tergelitik saya untuk membahas tentang salah satu bentuk pola asuh kepada anak yakni Reward dan Punishment ini.
Efektifkah Reward dan Punishment Pada Anak?
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa :
anak-anak adalah amanat bagi orang tuanya, hatinya yang suci adalah mutiara jiwa, bersih, kosong dari berbagai warna dan bentuk, ia menerima sesuatu yang telah membentuknnya. Jika mereka dibesarkan dengan kebaikan maka ia akan tumbuh dan berkembang dengan baik, bahagia di dunia dan akhirat.
Sesungguhnya reward dan punishment ini biasa dipakai untuk mempermudah usaha dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Siapa yang dulu waktu sekolah dasarnya masih ingat akan diberi bintang setiap mendapatkan nilai bagus? atau pulang duluan karena bisa menjawab soal perkalian dari Ibu Guru? Ayo pada ngacung kan.
Reward dan punishment di mana masing-masing dari keduanya memiliki sisi positif dan negatif. Dilihat dari segi positif, reward yang diberikan dengan tujuan mendidik sangat perlu untuk membentuk kata hati juga kemajuan anak, sedangkan punishment dapat memperbaiki tingkah laku, memperkuat kemauan. Hal yang sama dituliskan teman saya pada cara mudah mendisplinkan diri.
Bagaimana dari sudut pandang negatif?
Pak Purwanto Ngalim dalam buku Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis menjabarkan bahwa akan muncul beberapa kondisi seperti: perasaan dendam, menjadi lebih pandai, menyembunyikan pelanggaran dan kehilangan perasaan bersalahnya karena menganggap kesalahannya telah terbayar dengan hukuman yang ia derita.
Pemberian hukuman apalagi perkataan kasar merupakan hal yang tidak diinginkan semua anak. Walaupun menurut orang tua itu demi kebaikan anak semata. Irawati Istadi Pengarang Buku Mendidik dengan Cinta menjelaskan bahwa anak hanya merasakan bahwa kemarahan itu menjadi bukti ketidaksenangan orang tua kepadanya. Oleh karena itu salah satu kunci ampuh dalam mendidik anak adalah dengan berlaku lemah lembut, penuh cinta kasih walau dalam keadaan marah sekalipun.
Ibnu Jazar al-Qairawani menjelaskan tentang perbaikan anak sejak dini:
Sesungguhnya masa kanak-kanak adalah masa terbaik bagi pendidikan. Apabila kita dapati sebagian anak mudah dibina dan sebagian lain sulit dibina, sebagian giat belajar dan sebagian lain sangat malas belajar, sebagian mereka belajar untuk maju dan sebagian lain belajar hanya untuk
terhindar dari hukuman.
Sekitar 1 tahun yang lalu, saya sempat berpikir untuk memberikan anak saya, Sakha (39 months) hadiah/reward setiap dia bangun tidur tidak mengompol berupa agar-agar kemasan atau stiker bintang kesukaannya. Hal itu dilakukan untuk “meluruskan” beberapa habbit/tindakan dia yang saya rasa belum “benar”.
Contoh lainnya seperti saat dia sholat berjamaan di masjid, dia selalu enggan di bagian laki-laki jika ada salah satu tetangga yang bernama om arif ikut sholat di sana. Ia pasti minta untuk sholat di tempat perempuan (di lantai atas). Usut punya usut, ternyata tetangga ini iseng suka menggoda si sulung, di mana di kacamata Sakha ini sangat menakutkan. Saya sebagai Mamahnya yang terlalu obsesi untuk mengegasnya sholat di area laki-laki padahal ya dia mau ke masjid setiap waktu sholat bersama ayahnya sudah bagus ya.
Dilala malam itu saya bertemu kembali dengan Ustad Harry Santosa di kuliap Whatsapp Pendidikan Fitrah yang diselenggarakan komunitas hebat Banten. Masyaallah banyak tercerahkan kembali. Saat diadakan sesi tanya jawab, ada seorang Ibu yang bertanya mengenai cara mendidik 2 anak yg berbeda karakter dan usia. Ustad Harry menyampaikan penyeragaman dihindari dalam mendidik karena setiap anak berbeda. Fitrah sendiri bermakna al-ibtida atau unik.
Bagaimana dengan reward dan punishment?
Pemaksaan atau over stimulus, reward dan punishment sangat dihindari karena merusak fitrah anak-anak.
Sebagai orang tua selayaknya kita bisa menemukan mau atau needs atau kebutuhan ananda sesuai fitrahnya sebelum merencanakan kegiatan apapun. Alih-alih bermaksud membiasakan kebiasan baik jangan sampai reward dan punishment menjadi alat paksa. Memaksa hanya membuat ananda membenci apa yang kita ajarkan. Oleh sebab itu kita harus bisa menumbuhkan cinta dan minat sebelum mengajarkan apapun.
Kita sering mengungkit hal buruk tentang anak, tapi enggan untuk menulis atau mencatat kebaikan anak. selayaknya kita sebagai orangtua penggemban amanah langsung dari Allah lebih aware dalam kebaikan anak. Mohon dicatat bahwa anak mau beramal shalih apabila:
1. Relevant
Sesuai dengan tahapan usia dan kebutuhan serta minat sesuai fitrahnya.
2. Relation
Hubungan cinta yang mendalam sehingga mau melakukan dengan semangat
3. Reason
alasan yang kuat mengapa harus melakukan (utk usia 7 ke atas)
Menyambung pertanyaan tersebut saya bertanya mengenai pendapat beliau dengan sistem reward dan punishment berikut penjelasannya :
Reward dan punishment sama sekali tidak dibenarkan dalam mendidik, sehingga anak beramal tidak ikhlas, atau karena ingin diberi atau karena takut dihukum.
Anak yg beramal karena ingin hadiah atau karena takut hukuman, maka ia akan berhenti beramal jika yg memberi hadiah atau memberi hukuman sudah tidak ada atau sudah di alam kubur. Jika ingin memberi hadiah, berikan saja sebagai surprise bukan iming-iming. Hadiah terbaik bukan materi, tetapi pelukan, atau kegiatan lain yang lebih seru.
Hadiah tidak selalu barang, kita juga bisa memberikan hal lain
Catat ya hadiah tak melulu dengan barang, reward dapat berupa :
Perhatian
contohnya seperti mengucapkan kalimat “Masya Allah bagus benar gambarmu, Nak”“indah benar suaramu” atau “rapi benar pakaianmu”. Ingat, jangan sampai komentar kita berlebihan. Komentar atau pujian yang diberikan mengandung unsur-unsur edukasi.
Fisik
Hadiah berupa pelukan ataupun acungan jempol atas perilaku baik anak.
Kegiatan seru
Senada dengan Bu Elly Risman yang menjawab pertanyaan salah satu Ibu yang bertanya mengenai sikapnya dalam memberi hadiah kepada anak. Reward boleh diberikan sbg hadiah tapi bukan sbg iming-iming. Bu Elly bercerita pekan lalu ia memberikan hadiah kpd cucunya karena berhasik menlockdown dirinya sendiri di tengah wabah COVID-19 ini. Padahal depan belakang rumahnya terdpat lapangan dimana teman-temannya asik bermain sepak bola.
“Nenek kasih uang sebagai hadiah karena kamu sudah berhasil me-lock down diri kamu, walaupun ya nak tidak semua tindakan baik akan dibalas dgn kebaikan pula. Karena sebaik baiknya yang membalas kebaikan hanya Allah” tutur Bu Elly bagaimana ia menyampaikan hadiah tersebut pada anaknya.
Sekalipun kita ingin memotivasi anak agar berbuat baik, jangan sampai reward ini memberikan efek candu atau pengharapan terlalu besar.
Prinsip Reward agar Anak Tidak Terlena
Jadi harus ada batasan prinsip dalam memberikan hadiah pada anak, antara lain :
1. Pemberian reward didasarkan pada perilaku bukan sifat anak
Ustad Harry juga selalu mengingatkan kita untuk tidak membenturkan sifat dan perilaku anak.
Istilah atau panggilan semacam “anak manis”, “anak pintar”, “anak cerdas”atau “anak shaleh”, yang menunjukkan sifat anak (pelaku) sebaiknya tidak dijadikan alasan dalam pemberian hadiah.
Beri pujian atas perilakunya seperti ungkapan “anak yang rajin shalat”, “anak yang rajin membaca buku” atau “Nak, Mamah ingin kasih kamu pelukan karena kamu sudah merapihkan mainan kamu sendiri”
2. Harus ada batasnya
Jika ingin anak kita tidak terlena dalam mengharapkan hadiah, pemberiannya tidak bisa menjadi metode yang digunakan selamanya. Maka dari itu pemberiannya difungsikan hingga tahapan menumbuhkan kebiasaan saja. Manakala anak telah dirasa memiliki pembiasaan yang cukup maka pemberian hadiah harus diakhiri.
3. Berdasarkan pada proses
Hal yang lebih penting dari hasil adalah proses perbuatan baik anak itu sendiri. Proses pembelajaran adalah medan perjuangan yang sebenarnya sedangkan hasil yang akan diperoleh nantinya tidak bisa dijadikan patokan atau ukuran keberhasilannya.
4. Musyawarah
Libatkan anak, semua teori parenting dari peaceful parenting sampai positive parenting pasti menganjurkan keterlibatan anak. Apalagi untuk anak yang sedang perkembangan otaknya di tahap bahasa (2-7 tahun). Melibatkan anak dengan mengajaknya musyawarah mengenai hadiah yang akan diberikan, tentu anak akan merasa dihargai keberadaan dan pendapatnya. Jika kita sebagai oramg tua berhasil melibatkan anak dalam keputusan yang berkaitan dengan diri mereka, maka mereka akan lebih termotivasi untuk melakukannya dan lebih mudah menjaga serta mematuhinya, Insya Allah.
Pada akhirnya saya bisa mengambil garis lurus bahwa reward atau hadiah bila diterapkan dalam pendidikan tentunya akan memiliki kesan positif, yaitu sebagai motivasi bagi anak didik, untuk itu perlu dibedakan antara hadiah dan suap. Kita sebagai orang tua juga belajar menerapkan prinsip-prinsip di atas taktala ingin memberikan hadiah kepada anak agar mereka termotivasi untuk melakukan kebaikan.
Prinsip Punishment Agar Anak Tidak Sekadar Takut
Ketika marah, sebisa mungkin kita sebagai orang tua hendaknya tidak melakukan dengan emosional. Walaupun dalam mengamalkannya susaaah banget, tetapi harus kita coba terus ya. Kenapa? agar kita bisa fokus dalam menentukan target kemarahan agar tidak menyimpang dari tujuan kemarahannya.
Punishment yang diwujudkan dalam bentuk marah hendaknya dilakukan seperlunya. Sebab, dengan dimarahi secukupnya, sebenarnya anak sudah tau dan sadar akan kesalahannya. Akan tetapi kadang kita sebagai orang tua dan manusia biasa sering mendahulukan amarah dan hama nafsu. Kemarahan yang berlebihan jangan sampai hingga melukai hati, perasaan dan harga diri anak.
Karena ketika itu terjadi akan bangkit untuk mempertahankan harga dirinya bahkan bisa melawan. Anak yang dimarahi secara berlebihan cenderung akan membabi buta untuk membela diri atau dia akan berbalik mencari-cari kesalahan orang yang memarahinya (Irawati).
Maka dari itu ada prinsip punishment atau hukuman yang bisa kita terapkan kepada ananda :
1. Hukuman diberikan karena perilaku anak
Sama seperti reward, tindakan kita sebagai orang tua jangan sampai membenturkan sifat dan perilaku anak. Sering kita menjumpai Orang tua yang melabeli negatif anaknya, alih-alih bukan menegur perilakunya hanya ada cemooh atas sifat yang membuat label negatif pada diri anak. Hukuman diberikan distandarkan pemberiannya pada perilaku anak.
2. Hukuman tidak boleh disertai dengan emosi
Tahukah Gaes, ternyata jika pemberian hukuman disertai emosi yang berlebih maka yang terjadi adalah dapat menjatuhkan mental anak. Meski mengamalkan sebuah ilmu tidak mudah, jangan pernah menyerah yah Sahabat. Learning by Doing!
3. Sudah disepakati sebelumnya
Anak akan belajar bertanggung jawab jika ia diberi pengertian dan kesepakatan sebelumnya. Namun yang harus diperhatikan sesuai dengan Fitrah Based Education, dilihat kembali usia dan tahapan anak sedang berada di golongan usia apa. Jangan sampai kita menuntut mereka untuk taklif Syar’i tanpa menyiapkan mereka untuk Mukalaf (kemampuan memikul beban syariah, dari menyeru kepada Tauhid, Ibadah, sampai kepada Nafkah, Jihad dan Menikah) ketika Aqil Baligh tiba.
4. Hukuman harus spesifik dan fleksibel
Yang sering terlupa kita lupa untuk menjelaskan secara spesifik frekuensi hukuman, batasan hukuman atau mungkin tujuan pemberian hukuman.
Penutup
Sejatinya mendidik dengan reward dan punishment dapat memberi dampak positif dan juga negatif bagi si anak. Dengan adanya hukuman maka anak dapat termotivasi untuk menghentikan perbuatan buruknya. Selain itu, anak juga dapat mengetahui kesalahannya.
Tetapi hukuman diwujudkan dalam bentuk berlebihan maka akan timbul efek negatif pada anak. Anak yang dimarahi secara berlebihan juga cenderung akan bangkit untuk mempertahankan harga dirinya dan berbalik mencari-cari kesalahan orang yang memarahi. Oleh karena itu kita sebagai orang tua harus berhati hati dalam menggunakan hukuman sebagai alat untuk mendisiplinkan anak.Kembali ke pertanyaan pembuka artikel ini, apakah reward dan punishment ini efektif membuat anak betah di rumah? mungkin bisa sahabat jawab sendiri ya setelah membaca bahasan saya di atas.
Memang dengan reward dan punishment ini ada kesan “instan” dalam mendisplinkan anak. Reward dan punishment sama sekali tidak dibenarkan dalam mendidik secara fitrah, sehingga anak beramal tidak ikhlas, atau karena ingin diberi atau karena takut dihukum.
Menyeru kebaikan kepada anak-anak memang tidak cukup sekali dua kali, tetapi dengan menumbuhkan kebaikan dengan cinta tentu kita akan dapati tunas dari benih-benih yang kuat akar kebaikannya sampai ke dalam dada. Jangan sampai anak yg beramal karena ingin hadiah atau karena takut hukuman, maka ia akan berhenti beramal jika kita yang memberi hadiah atau memberi hukuman sudah tidak ada atau sudah di alam kubur.
Wallahu a’lam bishawab
Salam, Shafira Adlina.
Wah, lengkap sekali pembahasannya. Pelajaran yang oke buat saya yg belum menikah *bukan curcol*. Memang nggak ada yg instan ya di dunia ini. Bahkan bikin Indomie aja butuh tahapan, apalagi mendidik anak? Well noted Bu untuk reward and punishment, biar anak berperilaku wajar bukan mengharap hadiah atau takut hukuman.
Halo Mbak Arai, MasyaAllah, berarti Mbak masih banyak waktu buat belajar nih. semoga kita bisa mendidik anak-anak kita penuh cinta ya
Saya punya anak umur 4 tahun. Jika ada kelakuannya yang salah, saya tegur pasti dianya diam dan ngelesss. Namun saya yakin, dia tau kesalahannya tapi tak mau disalahkan. Perlahan- lahan saya sampaikan. Akhirnya dia mengerti.
sama Mbak Nof, anakku juga umur 4 tahun. Umur segitu memang lagi fasenya "berontak" tapi pasti mengerti kalau kita bilangin konsisten..
Tema-tema mengenai parenting memang tiada habisnya untuk dibahas. Semangat moms dalam mendidik putra putrinya. Salam kenal.
iya Mams, sekedar curhat dan membahas isu parenting memang selalu menarik. semangat juga Mbak MAria, salam kenal
kalau aku baca baca atau mendengar pengalaman orang lain yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, diusahakan ketika ngomong suatu larangan yang bersifat kesalahan si anak, jangan memakai kata yang agak kurang baik seperti 'jangan' biar si anak nggak merasa ditekan atau dilarang
reward sesekali boleh juga diadakan, tapi bukan dalam bentuk uang, biar nggak kebiasaan juga
punishment yang menimbulkan efek jera sesekali perlu di ajarkan biar anak juga nggak terus terusan bikin kesalahan yang sama
betul mbak seperti saya bahas di atas, reward boleh kok dilakukan tapi jangan sampai anak kecanduan. gitu kurang lebih. klau perihal bilang "jangan" saya termasuk mahzab yang boleh boleh aja kita itu sesuatu yang penting dan dilarang mutlak,
Lengkap sekali pembahasannya…
Saya belum punya anak, tapi betah membaca tulisan mah ina. Saya butuh artikel ini untuk memperluas wawasan sekaligus persiapan dalam mendidik anak nanti…
Saya awalnya mengapresiasi ada orang tua yang memberlakukan reward and punishment, keliatannya seri gitu. Lantas saya berfikir, kalau seperti itu bukankah anak bisa saja berbuat hal baik hanya untuk mendapatkan reward yang dia inginkan? Bisa pula dia menyembunyikan hal tidak baik untuk memanipulasi punishment?
Alhamdulillah tercerahkan setelah membaca tulisan mah ini… 🙂
Halo Mbak NIsya, salam kenal, masyaAllah calon istri dan ibu yang baik. saya juga senang melihat smangat belajar gadis-gadis seperti mbak Nisya ini. memang sebelum beramal itu baik mencari ilmunya.
Saya termasuk anak 90-an yang dibesarkan dengan cara ini, reward punishment. Hehehe. Kalo gak bisa mempertahankan juara kelas atau minimal tetap masuk 3 besar, ada punishment yang harus saya terima. Kalo puasa penuh, ada reward yang saya terima. Meski demikian, alhamdulillah sampai udah berumur kepala 3 sekarang, saya tak merasakan dampak negatif dari pola asuh ayah saya sewaktu kecil dulu. Malah saya merasa lebih banyak sisi positifnya. Mungkin memang perlu dibreakdown lagi untuk memberlakukan hal sama pada anak-anak zaman sekarang.
Halo Mbak Muthia Mamah Kembar, sama dong kaya aku tahun 99 eh 90an. betul mbak, pasti kita harus breakdown dan banyak diskusi agar anak merasa terlibat krn tantangan zaman semakin berkembang
Benar sekali teeard dan.punishment pada anak diberikan dng mempertimbankan bnyk.hal ya mbak. Karena kita ingin anak2 tumbuh bukn dngan.ketakutan dan keterpaksaan jika melakukan sesuatu melainkan dng kesadaran dan tanggungjawab. Jadi reward itu ya bonus.Punishment itu ya resiko krna sdh melanggar kesepakatan..gitu sih mnrt sy
Iya Mbak Bayu, singkatnya jika ingin melakukan reward dan punishment dilihat lagi usia anak dan jangan sampai keterusan, harus ada batas waktu. dan satu lagi jangan sampai empsi terlibat dominan kepada anak
Mendalam banget bahasannya mba. Aku juga menerapkan reward and punishment ini. Cuman kadang gagal waktu punishment karena ngga tega. Gimana yah 😭 masih harus banyak belajar sabar juga
tergantung usia ya mbak jihan, dilihat lagi aja dievaluasi brg suami. namanya parenting belajar seumur hidup jadi orang tua, learning by doing tetap semangat bertumbuh besama anak ya 🙂
Untuk urusan reward and punishment ini pasti ada pro kontranya. Tapi jika saya dan suami mengikuti landasan visi misi yang ada di keluarga kami. Dan tentunya itu semua dilandasi dengan ilmu bukan hanya ikut-ikutan trend saja.
halo mbak diah, mudah0mudahan dari penjelasan dan pemaparan di atas cukup mewakili ya. memang jadi orang tua harus selalu belajar dan jangan sampai mencedarakan fitrahnya, mari semangat membersamai ananda 🙂
Note
Kalau nanti nikah dan punya anak, hehe
Btw mbak, mungkin mamak mamak pada kaget menghadapi hari hari SFH jadi pada nerapin itu,
Biasa pagi bocah di sekolah, karena pandemi ini pada di rumah, jadi ya satu dua hari belum terbiasa kaya kakak kakakku satu dua hari awal udah kek singa,haha alhamdulillah kesininya udah terbiasa 😀
hampir 2 bulan mbak una, udah kaya life new normal ga sih, tapi tetep kangeun keluar rumah yaa apalagi ketemu orang tua
Saya punya anak yang usianya sekarang 17 tahun. Kepadanya selama ini saya tidak pernah memberikan reward berupa uang. Bahkan ketika ia bisa berpuasa sehari full saat masih kelas 1 SD. Bukannya pelit, saya hanya tidak ingin di saat dewasa kelak ia terjun ke masyarakat akan menggampangkan sesuatu dengan uang. Sedangkan untuk punishment, jika ia melanggar tata tertib atau aturan ya pasti ada konsekuensinya.
wah mbak wiwin anaknya udah besar. iya pasti ada pertimbangannya dalam meberikan reward. umur segitu memang harus tau ttg aturannya.
Saya dibesarkan dalam keluarga dengan punishment apabila keluar dari tiga besar, tapi nggak pernah diberikan reward, hahaha …
Belajar banyak banget dari orangtua, saya sangat hati-hati dalam membimbing kedua buah hati. Tidak ada kalimat yang menyakitkan, memperbanyak diskusi, pujian, dan pelukan. Dengan cara begini saya berharap anak-anak akan menuruti nasehat dan contoh dari orangtuanya tanpa saya harus memberikan reward and punishment.
Sampai sekarang begitu. Ada sih, bonus saya berikan saat membantu saya, sewaktu liburan panjang kemarin dan kami nggak kemana-mana karena saya juga tengah paceklik, wkwkwk … Mereka bersabar, mau membantu, saya berikan bonus. Sekaligus kalimat bahwa, "Liburan kalian memang nggak kemana-mana. Tapi bisa menghasilkan uang loh. Nanti bisa cerita sama teman-teman dan ibu guru."
Ide bagus dong anak jadi bisa menebar kebaikan juga ke teman0temannya
Lagi-lagi dilema mbak, disatu sisi kita harus memberi reward kepada anak kita atas pencapaian yang ia raih. Disisi lain kita juga harus tegas untuk memberi hukuman agar anak kita lebih disiplin.
jangan dilema ka gun, ayo dirembukkan dengan pasangan semua tindakan kita ke anak. anak itu kan amanah terbesar dalam hidup kita
Kalo saya tipe selalu mengajak diskusi sih sama anak. Aku selalu bilang segala sesuatu itu pasti punya konsekuensi. Segala sesuatu yg kita lakukan akan balik pd diri kita sdr. Tentu dgn bahasa yg bisa mereka mengerti. Kadang2 ngasih reward tapi tdk tentu supaya tidak mjd kebiasaan. Pokok intinya, ortu mo ngasih hadiah atau enggak, tetep aja kebaikan itu akan dibalas lewat Allah. Begitu juga keburukan. Gitu aja sih
wah mbak santi keren. justru itu fundamentalnya kita harus mendidik dengan niat keridhoan Allah Ta;ala
Jujur kalau saya menerapkan keduanya, karena new habit tetap harus dibentuk. Di rumah saja bukan berarti sekarepe dewe. Jadi kami buat kesepakatan dengan anak-anak. Lebih ke konsekuensi sih bukan punishment. Jadi kalau mereka malas atau abai ya mereka yang rugi sendiri. Kalau masalah reward bukan bersifat materi tapi lebih ke acara senang2. Misalnya, kalau ,inggu ini tugasnya beres, weekend nanti kita bikin cookies lebaran. Anak-anak lansgung semangat karena jadi ada kegiatan baru.
iya mbak konsekuensi ya.. syarat dan ketentuan berlaku
MasyaaAllah banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari sini. Temasuk membedakan sifat dan perilaku anak. Anak saya masih 2 tahun, semoga nanti bisa saya didik dengan baik aamiin
Jaman saya sekolah dulu nggak ada hadiah bintang ataupun boleh pulang duluan. Kalau bisa menjawab betul, hadiahnya adalah sering di suruh maju mengerjakan soal di depan kelas (terutama pelajaran matematika, fisika, kimia).
Hmmm…. marah tapi tetap harus lemah lembuh, ini yang masih susah untuk saya terapkan. Kalau jengkel, pasti wajah cemberut dan nada suara meninggi
Lengkap banget pembahasannya mba, jadi ilmu nih buat aku yang belum menikah. Aku dari kecil enggak dibiasakan menerima hadiah dan hukuman sih dari orangtua. Kalaupun dihukum dan dimarahi lebih ke rebutan mainan sama kakak atau dimintai tolong akunya lama. Tapi waktu SMP-SMK kalau ada barang yang aku pengenin, suka dikasih tantangan sama ibu, harus rangking satu dulu baru dibeliin. Gitu. Tapi enggak sampai jadi kebiasaan juga.
.
Aku setuju-setuju aja sih dengan reward-punishment ini. Dengan catatan hanya sesekali aja untuk pemberian reward, dan punishmentnya enggak setiap melakukan kesalahan, karena emang lebih enak diajak diskusi saat melakukan kesalahan.
.
Nyata banget kalau dimarahin melewati batas dan sering itu malah bikin yang dimarahin membangkang dan cari-cari kesalahan yang memarahi.
Pembahasannya lengkap sekali Mbak. Intinya tidak apa ada reward dan punishment asal pada tempatnya. Reward bukan berupa iming-iming ya. Semoga aku engga salah menggali intisarinya…
Makasih mamah bisa jadi panduan banget ini bagi saya, penting banget reward and punishment ini diterapkan juga di rumah untuk anak-anak ya. Biar anak memahami tanggung jawab dan senang saat diberikan reward.
Wah, keren. Kulwap bareng beliau. Isteri saya (Tantri Mega Sanjaya) juga ikut IIP Banten. Wah, jadi berpikir ulang nih tentang reward n punishment
Nantii bisa nih saya terpkan saat sudah berkeluarga dan memiliki anak. Karena ilmu parenting wjib sekali di pelajari😉 ulasannya ngebntu sekali kak
Jadi flashback pas jaman SD, guru matematika nanyain perkalian. Sejak pertanyaan susudah di mulai ke temen² yg lain, sejk itulah deq-deq kan nih hati hhaha
Berat memang mulanya untuk mengubah pola hidup karena dirumahaja
Tapi disiplin harus.
Makasih tips-tipsnya
Hmmm..saya yang termasuk jarang kasih reward and punishment. Ya bener ust Harry, takutnya anak mencintai sesuatu karena terpaksa atau ada iming2nya, ngga ikhlas dari kesadaran mereka. Pun tidak melakukan sesuatu karena takut dimarahi atau dihukum. Memang seharusnya menumbuhkan fitrah anak dulu, mendampingi dengan sabar mana yang harus atau mana yang tidak boleh dilakukan. Nanti akan lama2 terbiasa ya mba, melakukannya pun tanpa ada embel2 hadiah..
kayaknya baik klo dilakukan 2-2 nya ya mbak, saat melakuakn something good diberikan penghargaan, saat ada salah juga ada punishment nya
initinya semua yang dilakukan si kecil harus ada pertanggungjawabnnya, buat latihan gtu