Sering Merasa Bersalah Atau Sering Menyalahkan Diri Sendiri? Baca ini,Yuk!

Photo of author

By Shafira Adlina

Apakah teman-teman sering merasa bersalah yang berlebihan? Baik itu menyalahkan orang lain atau menyalahkan diri sendiri. Rasa bersalah sebetulnya sama dengan emosi lainnya seperti marah, kesal dan cemas. Emosi “negatif” yang Allah ciptakan dan diperlukan dalam hidup, itu manusiawi.

Hal ini senada apa yang diutarakan Linda Setiawati M.Psi, psikolog dari Personal Growth.

Rasa bersalah ini sebetulnya merupakan perasaan yang wajar dalam kehidupan manusia, yang akan hadir ketika seseorang menilai perilaku yang ditampilkannya melanggar aturan atau merugikan orang lain. Ini yang disebut rasa bersalah adaptif.

Kalau teman-teman punya saudara atau teman yang jelas melakukan kesalahan tapi tidak merasa bersalah, artinya dia tidak punya rasa bersalah adaptif ini. Rasa bersalah penting di setiap manusia sebagai tanda kepekaan dan mawas diri agar tidak mengulangi kesalahan di lain hari.

Namun, rasa bersalah akan menjadi menganggu jika kehadirannya berlebihan. Kita perlu waspada dengan merasa bersalah yang terus muncul dan menganggu aktivitas kita. Baik itu menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain. Sekali lagi, jika berlebihan akan menimbulkan efek domino yang panjang.

Pemaknaan Rasa Bersalah

Sebelumnya mari kita memaknai apa itu merasa bersalah ini. Bukan sekadar hanya memiliki perasaan bersalah. Emosi merasa bersalah ini, mari kita gali pelan-pelan dengan narasi di bawah ini :

Mari saat ini kita coba gali coba dan bayangkan, apakah pernah kita merasa menyalahkan diri sendiri? Atau tidak menyalahkan diri sendiri tapi larut bahkan terpuruk. Itu sudah sebagai tanda kita memiliki perasaan bersalah yang berlebih.

Atau kita memiliki kenangan atau memori kejadian di fase kehidupan sebelumnya. Misalnya saat duduk di bangku SMP atau SMA, saat masih pra remaja dan remaja.

Kita memiliki kejadian-kejadian yang sebetulnya kita biasa disalahkan. Saya sendiri pernah mengalaminya, dulu saat duduk di bangku SMP saya diamanahkan sebagai ketua salah satu organisasi ekstrakulikuler. Di sana jika terjadi konflik, ketua yang disudutkan oleh para senior. Ah, jaman itu tahun 2000an organisasi di sekolah akrab dengan perundungan verbal bahkan nonverbal.

Atau jangan-jangan atmosfer di rumah yang terbiasa disalahkan oleh orang tua atau sanak saudara.

Jika memang jawabannya iya, kemungkinan kita membawa emosi-emosi rasa bersalah itu dalam tas emosi kita.

Sekali lagi emosi merasa bersalah ini memang dibutuhkan, normal karena ini sisi manusiawi kita. Ketika berlebihan ini adalah tidak normal.

Contohnya begini kita tidak bisa membatasi perilaku orang lain. Kita tidak bisa membatasi mereka untuk jangan komentar tentang saya, jangan bicara tentang saya, jangan menyerang pribadi saya.

Akan ada orang-orang yang selalu berbeda pendapat dengan kita, tidak semua sama dengan kita. Semua itu wajar, sebab beda pendidikan, beda pola asuh, beda latar belakang keluarga, beda bacaan, beda tontonan, beda kepahaman dan sebagaimananya.

Tentu mereka semua yang hatinya, pikirannya tidak bisa kita kendalikan.

Kembali ke cerita saya, akhir-akhir ini Sakha yang berumur 5 tahun sering sekali bilang “gara-gara”. Ya anak itu menyerap sekelilingnya, jelas ia menyerap saya. Suatu hari ia terpeleset karena genangan air tumpahan adiknya mengambil minum. Tahu apa yang ia ucapkan ketika terjatuh?

“Aduh, sakit, gara-gara air nih, siapa sih yang naro di sini?”

Degh!! Jleb!!gara-gara

Dari mana lagi anak 5 tahun merespon kejadian seperti itu. Artinya pada saat itu memang di sekitarnya orang dewasa merespon kejadian sedemikian rupa. Karena anak belajar dan menyerap emosi dan perilaku dari apa yang dia lihat dan dengar.

Seketika saya dan suami langsung mengintrospeksi diri. Lebih tepatnya saya sih, karena jujur saya sering sekali pada saat itu sedikit sedikit komplain dan menyalahkan suami atau orang lain. Padahal untuk urusan kecil rumah tangga.

Kitakah Orang yang Sering Merasa Bersalah Itu?

Ciri pribadi yang membawa emosi bersalah berlebih :

  1. Mudah menyalahkan orang lain
  2. Tanpa dasar suka atau sering menyalahkan diri sendiri

Menyalahkan diri sendiri bentuk lain takut disalahkan orang lain, ini bentuk mekanisme coping, pertahanan diri sendiri yang sebetulnya kurang tepat.

Semoga bukan kita ya teman-teman…semoga bukan pada anak-anak kita, ayo kita putus rantai ini.

Semoga di antara pembaca ceritamamah tidak mudah menyalahkan anak-anak kita.

Emosi bersalah ini juga berkaitan dengan pribadi yang mudah mengkritik orang lain. Orang yang mudah menyalahkan orang lain terhadap perbedaan-perbedaan yang ada.

Misalnya nih kalau konteks agama, mudah sekali sesama muslim yang hanya berbeda tata cara ibadah yang berkaitan fiqih saling serang. Satu sama lain merasa dirinya lebih baik, bahkan membid’ah. Hilanglah rasa cinta sesama muslim, padahal di agama islam mengajarkan kasih sayang bahkan untuk saudara yang beragama lain.

Kalau konteksnya kepada pemerintah, pribadi yang memiliki rasa bersalah berlebih akan mudah menyalahkan, mengkritik pemerintahan. Tanpa sadar menengok ke dalam diri, apa yang sudah diri ini kontribusikan?

Kalau di dalam pekerjaan, pribadi yang mudh menyalahkan rekan kerjanya, hilang rasa saling membantu dan sebagainya. Atau rasa bersalah seperti yang saya temukan, yang muncul di anak saya. Yuk, ah mari kita mulai terbuka dengan diri sendiri. Pasti teman-teman pernah merasakannya ya? Bagaimana emosi berlebih seseorang bisa berdampak pada sikap dan karakternya sehari-hari.

Jangan sampai rasa bersalah berlebih ini membuat diri jado takut melangkah, takut memulai hal-hal baru bahkan takut gagal.

merasa bersalah

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan emosi rasa bersalah?

1. Mengenal Diri

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mengenal diri. Dua tahun terakhir ini, selain belajar menulis kembali saya juga belajar mengenal diri. Menengok ke dalam diri. Tentu sampai hari ini saya terus belajar, karena kita tidak akan cakap akan suatu hal jika hanya mengetahuinya.

Dengan mengenal diri sendiri dan menyadari ketika rada bersalah yang irasional muncul, akan jauh lebih mudah dalam mengendalikan emosi merasa bersalah ini.

2. Selesaikan Rasa Bersalah di Masa Lalu

Hal yang selanjutnya harus dilakukan adalah selesaikan satu persatu, tiap kejadian yang memicu rasa bersalah tersebut. Mungkin bisa satu kejadian atau lebih dari satu.

Semua itu kita lakukan agar dapat hidup netral hari tanpa bayang-bayang rasa bersalah di masa lalu.

Gina Shabira, seorang terapis khusus wanita juga menjelaskan  emosi rasa bersalah yang berlebih dapat melemahkan organ liver dan kantung empedu dalam sudut pengobatan timur. Beliau menambahkan ciri fisik yang biasa dialami mudah ada memar memar di tubuh, ada batu empedu, gangguan-gangguan darah, bisa kolestrol, asam urat, diabetes, dan sebagainya.

Jadi cara kedua untuk  mengendalikan emosi bersalah ini adalah dengan menyelesaikannya emosi bersalah yang terekam di alam bawah sadar kita. Caranya bagaimana? Salah satunya dengan terapi diri.

3. Terima Kenyataan

Untuk mengurangi rasa bersalah yang berlebihan kita bisa dengan menerima kenyataan saat melakukan kesalahan atau mengecewakan orang lain. Akuilah bahwa kita manusia sebagai tempatnya salah dan khilaf. Saat kita melakukan kesalahan, terima sewajarnya dan perbaiki jika menyangkut orang lain.

Kita tidak bisa memutar waktu lalu, tapi kita bisa mempersiapkan waktu di masa depan yang lebih baik.

4. Melakukan Evaluasi

Hal yang berkaitan dengan emosi, apalagi yang sudah terjadi di masa lalu sering terekam di alam bawah sadar kita. Itu semua akan mempengaruhi diri kita dan respon diri terhadap kejadian di sekeliling kita.

Sama sepertinya kasus saya, sesungguhnya saya sudah melupakan kejadian-kejadian di masa lalu. Tapi siapa sangka, semua itu mempengaruhi pola pikir dan tindakan saya kepada keluarga kecil saya hari ini.

Menyelesaikan masalah emosi apalagi trauma dengan terapi tidak serta merta langsung sembuh ke terapis, butuh keuletan untuk terus berlatih agar menjadi terampil. Nah, salah satunya dengan melakukan evaluasi.

Tidak hanya pekerjaan yang perlu dilakukan monitoring dan evaluasi, diri kita juga loh. Agar nanti tidak menghakimi diri sendiri. Kita bisa identifikasi penyebab saat berbuat khilaf dan jangan lupa apresiasi diri jika sudah melewati tahapan tujuannya.

Penutup  

Nah, Itulah pemaknaan dari rasa bersalah dan cara mengendalikan ketika kita merasa bersalah yang berlebihan. Yuk, latihan dan jadi pengamat atas perasaan diri. Mari latihan mengenali apa sinyal-sinyal yang dikirimkan perasaan, pikiran dan tubuh.

“Perasaan, pikiran, kondisi fisik ini adalah tolak ukur sehat tidaknya seseorang. Saat perasaan tidak nyaman, pikiran tidak karuan, fisik serba kerasa itu sinyal menandakan tubuh sedang tidak sehat secara batin dan fisik (Gina Shabira).

 

Semoga bermanfaat, salam.shafira adlina

36 thoughts on “Sering Merasa Bersalah Atau Sering Menyalahkan Diri Sendiri? Baca ini,Yuk!”

  1. Waahh, ini reminder juga buat diriku.
    sering banget aku terjerat guilty feeling, bisa jadi karena inner child yg blum selesai kali ya.

    Pengin banget menyelesaikan hal ini.
    makasiii tipsnya ya mbaaaa

    Reply
      • Membaca tulisan Mba Ina, sepertinya saya merasa bahwa saya juga memiliki ciri-ciri ini 🙁 Overthinking, takut berbuat salah kembali, lambat bergerak dan memutuskan. Sepertinya ada andil bahwa dulu mungkin terlalu banyak menghayati film-film atau membaca cerita-cerita yang terlalu sempurna atau ideal ya. Mudah2an hal ini bisa terus diperbaiki agar kelak tak terbawa ke pengasuhan anak-anak.
        Makasi Mba Ina utk insightnya..

        Reply
  2. Wah mbak bawa-bawa pemerintah, saya auto mau ikutan nyalah-nyalahin juga nih 🤐😄 iya lah gausah banyak nyalahi siapa-siapa, bikin pikiran tambah mumet. Mending fokus sama hal-hal yang bisa diperbaiki ya daripada nyalah-nyalahin..

    Reply
  3. Alhamdulillah aku sudah melewati fase ini mam, tapi mungkin ibu lain atau generasi muda kita masih banyak yang berkutat di rasa bersalah dan penyesalan. Terima kasih untuk artikelnya ya, pasti sangat membantu temna kita yang membutuhkannya

    Reply
  4. Jujur, saya termasuk golongan orang yang sering menyalahkan diri sendiri, tapi tak mau menyalahkan orang lain. Walaupun yang bersangkutan sering menimbulkan sebab akibat, ujung2nya tetap menyesali diri sendiri. Mungkin ini termasuk efek masa kecil yang kurang menyenangkan. Terima kasih ananda Shafira.

    Reply
  5. Iya nih, saya juga sering validasi lagi ke anak-anak. Jangan sampai mencari pembenaran atau kambing hitam saat mengalami kondisi tertentu. Seperti saat terjatuh, malah menyalahkan lantainya. Atau terbentur malah menyalahkan temboknya. Nanti dampaknya saat dewasa jadi sering menyalahkan orang lain kan ya.

    Reply
  6. Tiap kali dateng ke blognya kak Shaf, selalu kayak healing gitu. Makin mengenal diri dan sadar ada di titik menyalahkan diri hehe. Memang kudu menerima dan tidak mudah menyalahkan ya kak Shaf. Etapi kalau nyalahin pemerenta boleh dong mkwkw

    Reply
  7. dulu saya termasuk yang sering ngerasa bersalah pada siapapun untuk hal apapun. kalau ada somtehing wrong, saya selalu berfikir ini salah saya. setela di evaluasi, ternyata emang ada masalah kan dalam inner child saya. setelah di selesaikan, i’m free now dari rasa bersalah

    Reply
  8. Untuk diri sendiri kadang masih bisa mengendalikan diri terus bikin evaluasi, kenapa sih kok gini kenapa sih kok gitu? Tapi pas sama anak aku masih banyak belajar bangett.. ngga nyalahin apapun kalau anak jatuh atau apapun yg bikin dia sakit. huhu.. pernah dinasihati juga nih sama suamiku kayak gini

    Reply
  9. mencari ‘gara’gara’ ini menjadi concern hal yang perlu diubah untukku juga. merasa sih perlu lebih mindful dan mengendalikan diri lebih.

    setelah tak evaluasi, kadang ternyata tanpa sadar, aku terlalu sering mencari gara-gara alias penyebabnya apa, lalu mencari kambing hitam juga, yg mana padahal efek dari semisal jatuh itu jelas harus ditangani dulu ya, entah tahu penyebabnya atau bukan..

    Reply
  10. Makasih Mah buat bahan intopeksi diri banget nih, aku sering merasa bersalah begini lantas belajar lagi apa sebenarnya yang salah terhadap diri ini, akhirnya melakukan penerimaan diri dan mencoba belajar lebih baik lagi

    Reply
  11. Wah ini semacam reminder bagi aku agar tidak melakukannya lagi, setelah menikah aku berkomitmen untuk tidak lagi permasalahan masa lalu yang termasuk suka menyalahkan diri sendiri jika mengalami suatu masalah. Berkat suamiku yang menuntun aku untuk mengenali diri sendiri dan mau memaafkan masa lalu, perlahan mulai berkurang dan semoga ngak muncul lagi.

    Reply
    • Menyelesaikan rasa bersalah di masa lalu penting bgt biar nggak menumpuk ya mbak. Btw dulu aku pernah ada di fase menyalahkan diri sendiri. Rasanya capek. Jadinya malah insecure mulu. Kuncinya memang harus menerima diri sendiri dulu

      Reply
  12. Betul sekali kak, terkadang sayapun masih menyalahkan diri sendiri terkait beberapa kejadian, harusnya begini Dan begitu. Ah artikel ini sejenak membuat Saya merasa lega. Trims sharringnya

    Reply
  13. Dulu saya juga tipe orang yang mencari sosok atau hal yang bisa disalahkan jika terjadi suatu ketidakberesan pada saya. Sekarang saya sudah mulai mengurangi hal tersebut karena saya menyadari itu hanya akan membuat orang di sekitar saya terluka dan saya merasa tidak tenang. Semoga kita dikuatkan dalam proses ini.

    Reply
  14. Gara-gara…

    Waktu kucing saya mati bulan lalu, anak kedua saya nangis sambil berkata, “Mayo mati kayaknya gara-gara Aga ngga sayang sama Mayo…” Dia inget waktu main ciprat-cipratan air ke Mayo, padahal Mayo ngga terlalu suka sama air.

    Tapi saat itu saya menghibur dia, “Bukan, bukan karena Aga. Mayo memang sakit karena virus.”

    Memang kita harus legowo, ya, ketika terjadi sesuatu. Ngga boleh terlalu menyalahkan diri sendiri, karena ada beberapa hal yang terjadi di luar kendali kita.

    Reply
  15. Proses penerimaan ini yang gak mudah yaa..
    Butuh waktu dan proses dan kadang ada trigger, langsung terpantik kembali rasa bersalah dan menyalahkan ini.
    Tapi aku cenderung menyalahkan diri sendiri siih..ketimbang lingkungan. Sama-sama gak baik dan ini tuh bikin aku insecure dengan apa yang sudah aku lakukan.

    Baik atau enggak yaa..
    Nanti ada yang ghibahin ((PD amat, hahaha))

    Kurang lebih memang kita harus merawat jiwa kita sendiri.

    Reply
  16. Kalau lagi ga stabil memang mudah menyalahkan diri sendiri atau cari kambing hitam, mau disate. LOL

    Menjaga kewarasan itu gimana ya mbak? Dalam keadaan normal udah ngerti harus terima kenyataan, enggak selalu capai impian, dsb. Tapi kalau lagi oleng, tiba-tiba keluar tanduk

    Reply
  17. Cant agree more tentang pentingnya punya rasa bersalah tapi tentunya harus segera bangkit.
    Apalagi kalo merasa bersalahnya sama anak huhu double double tapi harus segera move on

    Reply
  18. Peluuuk Mbak Inaaa. Aku pun tertohok sama tulisan ini karena masih PR juga kayanya buatku sering berlarut-larut menyalahkan diri sendiri.

    Mbak Ina proses mengenal diri sendirinya seperti apa? Aku juga ingin mulai melakukan ini karena kayanya tas emosiku masih penuh emosi “negatif” yang perlu di-address tapi bingung mulai dari mana.

    Reply
  19. MasyaAllah.. Pembahasan rasa bersalah ini kadang terlewat atau disembunyikan, padahal penting memahami nya agar tidak berlarut. Memaafkan diri agar tak lagi merasa bersalah, kunci penting dalam menatap ke depannya.

    Reply
  20. makasih banyak mbaakk, reminder untukku yang sering insecure karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat hiks … jadinya sering nggak move on dari masa lalu, tapi yang paling penting memang penerimaan ya

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page