Apa yang harus kita lakukan ketika anak usia dini bercerita dan mengadu bahwa dia diejek oleh temannya. Haruskah kita ikut marah? Benarkah kita perlu menghiburnya? Berikut teori yang kudapatkan dan pengalaman yang aku praktikkan kepada anak sulungnya yang berusia 6 tahun.
Saat anak pertama saya duduk di bangku taman kanak-kanak, ia pernah mengadu. Pulang sekolah ia merengek meminta sepatu baru.
Aku tanya padanya apa sebabnya?
“Kata Budi (nama samara temannya) sepatu Sakha jelek.”
Bagaimana meresponnya?
Hindari merespon sekadar menghibur anak sementara. Contohnya dengan kata-kata
“Punya Kakak bagus kok!” atau malah berucap
“Nanti kita beli yang baru ya”
Kenapa harus dihindari? Dengan respon tersebut kita dapat memicu kompetisi “yang terbaik” pada diri anak. Hal ini pastinya akan melelahkan teman-teman.
Di luar sana, nantinya anak kita bisa melihat banyak orang yang “lebih baik darinya”.
Lakukan 3T Saat Anak Mengadu
Saat anak bercerita ini dan itu, ada perasaan ingin motong atau menasihati. Ibu Bapak, yuk hindari ini. Kemampuan mendengarkan seseorang memang lebih sulit disbanding dengan kemampuan bicara. Justru inilah saatnya kita menjadi pendengar terbaik di mata anak, agar ia merasa diterima. Walaupun dalam hati, gatal sekali ini bibir ingin memberikan tausiyah siraman rohani padanya.
Ketika anak datang kepada kita dan bercerita keluh kesah dan aduannya itu, mari kita lakukan ketiga hal ini atau yang say asingkat dengan 3T (Tenang-Temani-Terima)
“Kata Budi, sepatu Sakha jelek mah”
“Kenapa dia bilang gitu ya?”
“…..(diam)”
“Terus Sakha bilang apa?”
“Tau ga jelas, padahal sepatunya juga dia juga ga bagus”
Respon anak seperti ini wajar ya, sebab anak umur segitu memang suka saling membalas. PR kita adalah menyikapi dengan Tenang. Kita harus kelola emosi anak.
Bagian terpentingnya adalah bagaimana kita mengelola emosi kita agar tidak terbawa dengan emosi anak. Itulah pentingnya mengelola emosi ketika ada seseorang yang melakukan curhat pada kita.
Aku langsung bertanya lagi padanya,
“Terus Sakha bagaimana? Apa perasaannya saat itu?”
kemudian mata kecil itu berkaca-kaca dan mengeluarkan air matanya. Respon saya menawarkan pelukan padanya. Ingat bahwa tabu menganggap anak laki-laki tidak boleh menangis. Ajarkan ia kekuatan dengan menerima semua perasaanya. Mungkin mengajarkannya denial semenjak kecil.
Setelah itu saya tidak melanjutkan percakapan mengenai hal tersebut. Kami melanjutkan dengan kegiatan harian saat itu.
Ketika sudah reda dan kondisinya dalam keadaan anakku bagus. Dalam artian tidak lapar apalagi rewel. Saya coba ajak bicara.
“Menurut Sakha sepatu yang bagus kaya apa sih?”
“Yang kaya Adit, kaos kakinya item putih.”
“Oh sepatu yang ada kaos kakinya menurut sakha itu bagus?”
Lalu silahkan masuk pertanyaan untuk memberikan value atau nasihat kepada anak. Gunakan kalimat tanya jangan nasihat 1 arah. Ingat anak usia dini harga dirinya paling tinggi.
Saya bertanya padanya apa fungsi dari sepatu :”Sepatu itu buat apa sih kak?”
“Buat dipakai” jawabnya pendek.
“Iya berarti yang nyaman dan bersih dong pastinya ya?”
“Sakha kalau dikasih sepatu Adit mau pakai?”
“Enggak!”
“Jadi sepatu yang nyaman dan bersih yang mau dipakai Sakha?”
“Iya”
“Ok, nanti sepatunya kita coba cuci ya besok biar lebih bersih dan nyaman?”
“Iya mah.”
View this post on Instagram
Penutup
InsyaAllah dengan kondisi tenang dan pertanyaan terbuka kita akan membantu anak untuk menilai kebaikan dari dalam dirinya dan apa yg dimilikinya bukan dari luar.
Semoga bermanfaat. Salam.
Suka baca tulisan ini …. memang tidak boleh dianggap sepele menjawab anak mengadu apalagi kalau anaknya sampai mewek. Saya mengaku, sulit 😀 Soalnya sebagai ibu, sering kali lebih emosi saya ketimbang anaknya kalo urusan2 perasaan, seolah merasakan kekecewaan anak padahal mah cuma perkiraan saja, anaknya belum tentu begitu juga perasaannya 😀
terima kasih kak mugniar, saya juga setuju memang paling sulit adalah mengendalikan diri sendiri. semoga kita senantiasa dimudahkan dan menjadi teladan yang baik untuk anak-anak kitaaa