Belajar Daring yang (Tidak) Dirindukan

Photo of author

By Shafira Adlina

kenangan belajar onlineSiapa yang tidak kenal Pembelajaran Jarak Jauh atau yang kerap disebut belajar online? Pandemi kemarin membuat telinga kita akrab dengan kegiatan pembelajaran yang diberikan kepada peserta atau siswa yang tidak berkumpul bersama secara nyata.

Para siswa menerima pelajaran secara langsung dari instruktur tetapi bahan-bahan dan instruksi-instruksi detail yang bersifat khusus dikirimkan lewat jaringan internet.

Saat itu semua sekolah tanpa terkecuali dihimbau untuk dilaksanakan di rumah, artinya semua pembelajaran dilakukan jarak jauh. Dan semua para guru mendadak menjadi instruktur jarak jauh. Baik di kota maupun desa, baik yang di perguruan tinggi maupun di PAUD. Ya, PAUD, Pendidikan Anak Usia Dini. Tahun 2020, Sakha, anak pertama saya pun harus mengalaminya. Belajar daring atau belajar online.

baca juga : Digital Parenting Untuk Mencegah Anak Kecanduan Internet dan Gadget

Kenangan Belajar Daring

Anak usia dini adalah pusat perasaan. Rata-rata salah satu alasan kenapa anak diberikan sekolah untuk seusia kelompok bermain atau Taman Kanak-Kanak adalah untuk meningkatkan skill sosial. Agar mereka bisa  bermain bersama teman sepantarannya. Namun, bagaimana saat belajar daring itu tercipta.

Bagi saya pribadi belajar online juga punya keistimewaanya, apa saja itu?

Tidak sedikit bahkan artikel atau postingan tercipta karena situasi tersebut. Dengan bantuan paket internet cepat memang cerita perasaan dan curhatan juga semakin cepat menyebar. Mungkin ini bisa jadi salah satu kelebihan ya?

Termasuk curhat yang tersalurkan, akhirnya bertemu dengan ibu-ibu yang merasa senasib dan sepenangungan akibat dampak belajar online.

Perihal belajar online ini pun banyak ragam sisinya, akhirnya saya mau tidak mau juga banyak terlibat belajar anak. Otak ini dituntut menciptakan kegiatan di rumah yang tidak membosankan demi anak betah di rumah. Belum lagi, adaptasi Sakha yang baru punya adik saat itu.

Akibatnya, saya pun aktif mencari ilmu yang sesuai dengan lingkar kepedulian dan value yang dianut. Salah satunya saya bertemu dengan kelas stimulasi untuk mendampingi Sakha di usia TK A-nya. Di tahun 2020, kami akhirnya sepakat untuk menyekolahkan Sakha di rumah saja. Dibantu dengan metode belajar dari Cendikiawan Cilik, kami difasilitasi pembekalan pendampingan orang tua, ide bermain, cara mengevaluasi stimulasi tumbuh kembang anak. Selain itu, Sakha juga menikmati kelas online menghapal Surat-surat pendek di Juz 30 bersama teman-teman sebaya. Masya Allah, semoga Allah jaga hapalan Sakha. Di Usia 7 tahun ini ia hampir menghapal Juz amma.

Baru di tahun 2021,setelah mencari TK Islam di Jakarta Timur akhirnya kami memutuskan untuk menyekolahkan Sakha di tingkat TK B. Meski pembelajarannya masih blended.

Belajar Online yang Tidak Dirindukan

Sisi lain dari belajar online tentu ada.

Stress, frustasi, bingung adalah ragam emosi yang hadir dengan semua perubahan mendadak. Kalau kita mau fokus untuk mencari masalah memang tidak akan habisnya. Tetap rasa bertemu dengan teman dan guru tidak dapat tergantikan. Apalagi dulu saat PAUD hanya dibantu WhatsApp group tanpa zoom kelas. Alhasil, SPP bayar, saya pun tetap jalan jadi guru PAUD.

Mencocokkan mood anak tentu berbeda ketika sekolah di rumah dan di sekolah. Sekali lagi kita harus ingat memang anak usia dini adalah pusat perasaan. Namun, itulah seninya fitrah anak usia dini memang lebih banyak bermain. Namun bukan berarti kita melenakan mereka hanya dalam permainan. Seni menanamkan kebaikan dan membangkitkan keimanannya justru dengan bermain.

Allah mengirimkan takdir sebegitu baiknya, sehingga saya dan suami banyak belajar lagi bersama anak.

Mislahnya sehabis mengerjakan dan menstimulus mereka dengan sekolah bersama, saya coba pergi ke lapangan dengan protokol Kesehatan tentunya. Salah satu menyegarkan diri juga dengan udara di luar rumah.
Akan tetapi ada hal lucu dan menarik. Sakha jadi bermain peran punya sekolah online dengan membuat grup WhatsApp. Bagaimana pun juga fitrahnya belajar itu lebih banyak manfaatnya jika bertemu langsung, apalagi anak juga mempelajari “hal lain” dari gurunya.

Begitulah suka duka belajar online tahun lalu, kalau kalian punya cerita apa tentang belajar online?

shafira adlina

1 thought on “Belajar Daring yang (Tidak) Dirindukan”

  1. Dulu pas masih belajar online, saya malah sering merasa stres, karena anak pun dipahamkan tidak mudah. Guru cuma ngasih soal, penjelasannya diserahkan ke orang tua sendiri. Padahal, kita yang bayar guru juga, haha..

    Namun, Alhamdulillah, sekarang pandemi sudah berlalu, sekolah kembali ke tatap muka. Saatnya anak memperoleh pendidikan yang lebih baik, bertemu guru, bertemu teman sekelas, dan menikmati kebersamaan di sekolahnya.

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page