5 Pelajaran Berharga dari Anak Pertama

Photo of author

By Shafira Adlina

Menjadi ibu anak tiga, membawa ingatanku untuk pertama kalinya menjadi ibu. Ya, anak pertamaku adalah pengalaman yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Rasanya seperti terjun bebas ke dunia baru yang tak punya peta, sambil menggendong seseorang yang sepenuhnya bergantung padamu.

Jika kalian mengikuti blog ini, pasti tahu nano-nano membesarkan anak laki-laki kami. Darinya saya dan suami belajar banyak hal, berkatnya pula saya giat untuk melahirkan anak kedua saya dengan proses alamiah.

Saat anak pertamaku lahir, aku pikir aku yang akan banyak mengajarinya. Tapi ternyata, akulah yang lebih banyak belajar darinya.

Anak pertama adalah laboratorium kehidupan. Dari dialah aku (juga suami) belajar, salah, memperbaiki, dan mengulangi. Dari dialah aku pertama kali berlatih mencintai tanpa syarat, bersabar dalam batas yang terus bergeser, dan menyelami bagian-bagian diriku yang belum pernah tersentuh. Inilah lima pelajaran besar yang aku dapatkan dari anak pertamaku, sang guru kehidupan.

anak anakku

1. Kesabaran Itu Dipraktikkan, Bukan Dihafalkan

Teori tentang sabar sudah sering kudengar sebelum jadi ibu. Tapi mengalaminya sendiri? Itu cerita lain. Anak pertama mengajarkan padaku bahwa sabar tidak bisa dibangun dalam sehari. Ia datang melalui malam-malam begadang, tangisan yang tak bisa dimengerti, dan rutinitas harian yang menguras tenaga.

Tapi justru di tengah semua itu, kesabaran tumbuh. Perlahan. Nyata. Anak pertamaku menjadi cermin dari keikhlasan: bahwa aku bisa belajar menahan diri, menunda emosi, dan memilih untuk hadir dengan tenang, meski dalam kekacauan. Apa sekarang aku sudah ahli dan mahir? tentu belum, dunia ini tempatnya berlatih terus. Episodenya pun menghadirkan ragam cerita.


2. Tidak Harus Sempurna, Cukup Hadir Sepenuh Hati

Saat pertama menjadi ibu, aku ingin semuanya berjalan ideal: lahiran normal,ASI lancar, anak cepat bicara, rumah rapi, semua sesuai rencana. Tapi kenyataannya berbeda. Banyak hal tidak berjalan seperti di buku atau media sosial.

Dari anak pertamaku, aku belajar untuk melepaskan standar tinggi yang justru membuatku frustrasi. Aku belajar bahwa anak tidak butuh ibu yang sempurna. Ia hanya butuh ibu yang hadir. Yang mau mendengar, memeluk, dan tetap berada di sisinya, meski dunia sedang berantakan.

baca juga: Curhatan Melahirkan Sesar: Lapisan Hikmah


3. Anak Itu Cermin Diri Kita

Ada saat-saat ketika aku melihat anakku marah, menangis, atau kesulitan mengelola emosinya—dan saat itu pula aku merasa seperti bercermin. Ternyata, aku belum selesai berdamai dengan emosiku sendiri.

Anak pertama seringkali meniru, bahkan menyerap tanpa sadar apa yang kita tampilkan sebagai orang tua. Ia menampakkan kembali sikap kita, entah sabar atau mudah meledak. Dari sanalah aku belajar untuk lebih sadar dan jujur pada diriku sendiri. Anak bukan hanya tumbuh bersamaku, tapi juga membantu aku tumbuh.


4. Anak Pertama Mengupas Luka-Luka Lama

Hal yang paling mengejutkan saat menjadi ibu adalah bagaimana masa lalu bisa muncul kembali. Anak pertamaku, dengan segala kepolosannya, memunculkan kembali luka-luka masa kecil yang tak sempat sembuh. Rasa ingin dipahami, diterima, dicintai tanpa syarat—semua itu muncul kembali bersamaan dengan proses mengasuhnya.

Berkatnya aku berani datang ke terapist dan terus belajar membasuh luka serta belajar ilmu parenting.

Lewat proses ini, aku menyadari bahwa menjadi ibu juga adalah safar: perjalanan jiwa. Sebuah perjalanan panjang untuk mengenali, menerima, dan merawat luka-luka emosi akibat pola asuh atau pengalaman hidup sebelumnya. Dan anak pertamaku, tanpa sadar, memegang peran besar dalam proses penyembuhan itu.


5. Rezeki Datang Lewat Anak, Termasuk Rezeki Jiwa dan Ilmu

Sebelum punya anak, aku mengira rezeki itu hanya soal uang. Tapi setelah hadirnya anak pertama, aku mulai menyadari bentuk-bentuk rezeki yang lain: waktu, ilmu, pertemanan, bahkan kesadaran spiritual.

Anak pertama membuatku belajar banyak: tentang parenting, psikologi anak, manajemen emosi, bahkan tentang agamaku sendiri. Dia memperluas hidupku ke arah yang sebelumnya tak terpikirkan. Ia adalah pembuka jalan—bukan hanya untuk adik-adiknya, tapi juga untuk ibu yang lebih bijak dalam diriku.


Penutup: Terima Kasih, Nak

Untuk anak pertamaku, terima kasih. Karena melalui hadirmu, aku belajar tentang cinta yang tidak bersyarat. Tentang kesabaran yang terus bertumbuh. Tentang menerima diri sendiri dan berani mengupas luka.

Engkau mungkin tak sadar, tapi kehadiranmu membuatku menjadi versi yang lebih utuh dari diriku. Dan untuk itu, aku akan selalu bersyukur. Tumbuh besar sesuai yang Allah mau ya Nak..

Total Views: 355

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page