Udara dingin membungkus kulitku. Perlahan kuganti baju dengan baju operasi bedah. Warnanya hijau sama dengan para petugas kesehatan yang mengantarku tadi. Sesampainya di ruang operasi, aku mencoba bertahan dan tenang,sebanyak mungkin kalimat-kalimat zikir demi mengubur rasa takut dan khawatirku.
Suara tangis bayi pecah di malam itu. Tepat pukul 23.10 bayi laki-laki keluar dari perutku. Perawat langsung membersihkan dan memberinya pakaian sementara aku masih di atas meja operasi untuk menutup rahim dan perut yang tersayat. Orang yang membersihkan bayiku itu menuju ke arahku dan menempelkan pipi bayi itu di kulit wajah untuk pertama kali. Saat itu, meskipun rasa sakit masih kurasakan, mengetahui ia sehat dan sempurna membuatku merasakan kebahagiaan.
Observasi dan Diagnosa Dokter
“Dari skala 10, ketuban Ibu hanya tinggal 8,” jelas dokter.
Wanita yang memakai jas putih itu menyarankan untuk melakukan induksi. Namun, ia mengutarakan ada risiko yang harus kami tanggung. Jika dalam waktu 1×12 jam tidak ada kemajuan pembukaan, kami harus melakukan operasi sesar.
Waktu berasa berputar amat lambat. Dini hari, bidan kembali datang memeriksa bagian dalam tempat lahir. Benar saja, setelah melewati dua belas jam tanpa kemajuan kami dirujuk ke rumah sakit yang dapat melakukan operasi sesar.
Malam itu adalah malam yang paling ingin kulupakan. Di tengah bunyi sirene ambulan, sepanjang perjalanan saya tak hentinya memegang tangan suami dan bidan yang mendampingi. Lantunan dzikir dan harapan untuk melahirkan normal terus bergelinangan di dalam dada.
Tak hentinya buliran air mata terus menetes membasahi pipi. Sambil menahan kontraksi yang luar biasa dan mempertahankan tangan yang ditusuk jarum infus. Aku berharap ini semua hanya sebuah mimpi dan berharap agar cepat terbangun dari mimpi buruk ini.
Kurang ilmu
Menjadi seorang Ibu memang layak untuk diperjuangkan. Sayangnya, hal itu tidak kuperjuangkan sebelumnya. Dulu aku berpikir bahwa melahirkan itu adalah hal yang mudah. Semua orang tua bisa melakukannya. Mengapa kami tidak banyak membaca dan bertanya. Aku tidak berdaya karena tidak berupaya. Rasa sesal bergelayut di dada semenjak datang di rumah sakit tipe C itu. Mengapa kami tidak mengerti apa-apa?
Sehari sebelum perayaan hari kemerdekaan negara, aku meminta untuk pergi ke bidan memeriksa kandungan kepada suami. Saat itu memang aku merasa sudah sering mulas dan sampai susah tidur. Namun, suami memutuskan untuk pergi ke rumah bersalin.
Hasil pengecekan adalah saya sudah dalam pembukaan satu. Janggalnya, kami tidak diperkenankan pulang, alasannya dilakukan observasi. Seperti pada pasangan muda lainnya, kami hanya bisa menurut untuk menyetujui semua tindakan para petugas kesehatan.
Setelah melalui dua malam tanpa ada tanda-tanda kemajuan persalinan, akhirnya aku diberi dua jenis induksi. Namun, karena tidak ada kemajuan pembukaan akhirnya kami dirujuk ke rumah sakit untuk operasi sesar.
Pelajaran yang sangat berharga yang bisa kami petik hari ini. Di tengah kesendirian di atas kasur aku mengganti baju operasi dan meminta pada Sang Khalik, agar operasi ini menjadi yang pertama dan terakhir yang kulalui. Sesampainya di rumah sakit kedua, dokter yang memeriksa kami menyatakan bahwa saya bisa melahirkan normal karena hasil observasi USG dan CTG kondisi bayi dan saya baik dan normal.
“Ini bisa lahir normal bisa kok, kita tunggu saja sampai besok”
Perkataan dari dokter laki-laki itu menjadi semangat baru kami untuk kami. Selama 2 hari 3 malam kami menunggu tanda-tanda kelahiran, mulai dari jalan menyesuri lorong paviliun, naik turun tangga sampai minum minyak kelapa dan nanas dilakukan.
Qodarulloh, petugas kesehatan di sana seakan memaksa kami untuk melakukan induksi lagi.Pagi hari itu saya diberi induksi lewat jalur infus, seperti film kembali diputar. Bada magrib, suami menandatangani surat persetujuan operasi sesar dilakukan malam itu juga.
Perjalanan Menemui Pisau Bedah
Kucium punggung tangan suamiku. Ia melayangkan usapan ke atas hijabku dan mendoakan keselamatanku. Kursi roda yang kududuki didorong ke ruangan operasi. Ketika pintu otomatis terbuka, kubalikan badan dan melayangkan senyum tulus kepadanya.
Melepaskan Mimpi Buruk
Malam itu sepi sekali, di kamar tidur belum ada isak tangis bayi. Entah kenapa bayi kami belum dibawa ke kamar kami. Kantuk mendera, kami semua terlelap setelah drama berhari-hari. Namun, sepanjang malam aku belum bisa
Malam itu seusai mendengar tangisan dari bayi kecil di hadapanku. Meski kantuk mendera kudekap tubuh munggilnya. Kutunaikan kewajibanku untuk memberikannya air susu dari tubuhku. Seusai sang bayi terlelap, kucoba kembali memejamkan mata di sampingnya. Lagi-lagi mimpi itu berputar-putar membuat tidurku tak nyaman. Suara sirine dan dinginnya kamar operasi tak henti tergambar jelas. Kucoba mengucapkan kalimat-kalimat pengingat Allah sebisaku.
Diri ini belum bisa menerima kenyataan bahwa hari itu aku menjadi seorang ibu yang melahirkan dengan proses bedah sesar. Rasa sakit yang kuderita hari itu bukan 100 persen dari organ rahim dan tujuh lapisan kulit dan daging yang dirobek pisau bedah. Namun, rasa sakit itu kombinasi dari rasa penyangkalan yang hadir di benakku. Rasa penyesalan dan ketidakikhlasan atas takdir yang disematkan Sang Kholik untukku.
Proses penyembuhan fisik dan mentalku terstimulasi setiap melihat bayi laki-lakiku. Bagaimana caranya agar dapat memberikan semua haknya sebagai anak. Proses belajar magisterku pun menjadi bersemangat dengan kehadirannya. Perlahan kulepaskan mimpi-mimpi buruk persalinan.
Pengalaman Persalinan Pertama Menjadi Bahan Bakar Belajar
Setelah melalui 2 tahun untuk berdamai pada takdir, aku banyak berupaya untuk memahami semua ilmu persalinan. Impianku memiliki banyak anak dan dapat melahirkan dengan proses yang nyaman. Meski belum ada rencana memiliki anak pada saat itu, perlahan aku ingin menambah ilmu seputar hamil dan persalinan.
Ketika anak sulungku berusia 3 tahun, Allah menitipkan amanah kepada kami. Selama kehamilan keduaku aku memiliki bahan bakar untuk belajar lebih banyak. Semua itu kulakuan agar aku dapat mengalami kehamilan bebas takut dan persalinan yang nyaman. Mulai dari membaca buku-buku tentang kehamilan dan persalinan, mengikuti kelas persiapan persalinan hingga kelas prenatal gentle yoga yang kuikuti setiap minggu. Wawasan dan ilmu juga diperbanyak mengenai manfaat dan risiko dari persalinan VBAC.
Memilih petugas kesehatan juga menjadi bagian penting dalam mewujudkan persalinan normal setelah melahirkan dengan operasi sesar sebelumnya (VBAC). Tidak banyak provider yang mendukung persalinan VBAC. Setelah berkeliling dari Jakarta hingga Depok, akhirnya saya menemukan rumah bersalin yang telah berpengalaman dalam memfasilitasi persalinan VBAC. Letak rumah bersalin ini pun terbilang tidak jauh dari rumah kami.
Jika dahulu diri ini sering mempertanyakan mengapa Allah menakdirkan persalinan pertama saya begitu rumit. Hari ini mata saya terbuka lebar, pengamalan persalinanku menjadi bahan bakar dan semangatku untuk memberdayakan diri lebih giat lagi. Qodarullah, Allah memeluk doa-doa kami untuk bisa bersalin normal pada anak kedua kami.
baca juga: Apa saja Persiapan VBAC? Ini Pengalaman VBAC Saya
Akhir kata, kita akan menikmati manisnya lapisan-lapisan hikmah dengan berdoa dan berupaya mengejar ridho Allah Ta’ala. Tulisan ini juga aku bukukan di dalam buku antologi bersama salah satu komunitas antologi yang berlokasi di Sukabumi dengan judul buku Romantica Sectio Caesaria.
Perjuangan Ibu sangatlah berjasa, beliau mengandung dan melahirkan buah hati, surga ada di telapak kaki Ibu ya, mbak. Semoga selalu sehat dan sehat. Momen lahiran begitu banyak hikmah yg dipetik ya.
Saya pun sudah mengalami semua fase dalam kelahiran mba. I feel you. Mulai dari induksi, melahirkan secara normal, dikuret karena keguguran hingga melahirkan secara normal. Semua ada plus minusnya, namun yang terpenting adalah ketika bertemu dengan bayi mungil tak berdosa, semua rasa sakit itu luruh tergantikan dengan rasa bahagia yang tak terkira..Semangat mba..
Aku kalau baca pengalaman seorang ibu yang melahirkan sesar, langsung deg-deg ser, kening berkerut, membayangkan betapa sakitnya gimana. Pengalaman ibu saya melahirkan adik saya yang terakhir itu sesar karena usianya sudah 40-an dan berisiko kalau persalinan biasa.
Semoga perjuangannya menjadi berkah dan pahala ya Bu.
Jarak anakku yg pertama dan kedua juga 3 tahun mbak. Dan entahlah, apa karena aku sadar diri dan memgalami proses pernah diposisi “agak dipojokkan” karena tidak segera hamil ketika menikah.
Jadi, saat pertama kali dokter mengatakan “jangan dipaksa lahiran pervaginaan jika memang harus SC ssbaiknya dilakukan saja.”
Pasrah sepasrahnya. Masya Allah kalo ingat memang penuhlapisan hikmah ya mbak perjuangan berubah status menjadi ibu ini. Dan tak berhenti di situ kayake, karena rasa sakit pasca operasi bahkan masih sering aku alami hingga sekarang.
Sehat selalu, kak Shafira.
MashaAllah, perjuangan seorang Ibu untuk melahirkan penerus generasi rabbani.
Semoga anandan menjadi anak yang sholih, sehat dan kuat iman serta agamanya.
Amazingly, seorang Ibu merasakan berbagai macam ujian dalam tiap fase kehidupannya.
setiap proses melahirkan itu pasti ada ceritanya ya, mbak. baik sesar ataupun normal juga ada risikonya masing-masing yaa. belum lagi pemulihan pasca melahirkannya juga kadang perlu proses panjang baik itu yang normal ataupun sesar
Sebuah proses yang sangat dirindukan untuk para pejuang garis dua merah
Tapi dari tulisan ini pulalah saya juga bisa mengambil hikmah bagaimana mempersiapkan persalinan jika waktunya tiba untuk saya
Salut juga dengan pembelajaran setelah melalui proses penerimaan tersebut mbak