Naluri setiap orang tua pasti mencintai anaknya. Begitu juga anak pasti sangat mencintai orang tuanya dan sekuat tenaganya untuk menyenangkan dan membanggakan mereka.
Namun, beberapa di antara kita ada yang merasa cinta itu tidak terbalas. Bagaimana rasanya ketika orang tua selalu berharap dengan kehidupan kita.
Tidak semua harapan itu akan tersampaikan dengan baik kepada kita sebagai anak. Orang tua lebih banyak suka membandingkan anak kepada saudara lainnya.
Padahal, membanding-bandingkan anak bukanlah sebuah cara untuk memotivasi (Buku Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak: Dampak Pygmalion di dalam Keluarga By Monty P. Satiadarma). Banyak dampak negatif yang bisa terjadi jika kita membandingkan anak. Juga kalau kita mengaca ke fitrah anak, jika anak selalu dibandingkan adalah penanaman standar orang lain yang akan tumbuh besar di alam bawah sadarnya tanpa menanamkan motivasi konsep ia berlaku karena apa.
Memotivasi dengan Membandingkan Anak
Sebagai manusia kita diselimuti dengan rasa ketergesa-gesaan dan khawatir akan masa depan. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Apalagi ketika mengasuh anak. Maka, tak heran jika mengasuh anak sering disebut mengasuh diri sendiri. Sejatinya kita sebagai orang tua bukan yang paling baik dan bisa, sebab kita sering juga belajar dari anak.
Orang tua sering sekali membandingkan anaknya dengan dahlil agar kita semangat.
“Kamu kaya kakak dong bisa masuk perguruan tinggi negeri.”
“Lihat dong adikmu, bangunnya tuh subuh. Ayo dong bangun subuh!”
“Si Palitho mah males makan, ga kaya anak kamu.”
Terlihat tidak asing dengan diksi-diksi di atas. Itulah perbandingan yang sering dengan halus merasuki gendang telinga kita sebagai anak. Orang tua pada dasarnya hanya memastikan bahwa si kecil memiliki pencapaian normal seperti anak lainnya.
Dampak Membandingkan Anak
Orang tua hobi membandingkan perkembangan anak dengan anak lain, entah sesame anak sendiri maupun orang lain. Kemudian menilai sendiri apakah perkembangan anak kita normal, lebih baik dibanding anak-anak seusianya.
Sadar atau tidak, Ketika orang tua seperti itu, mereka menggunakan kemampuan anak lain sebagai patokan untuk memotivasi anak sendiri.
Coba cek diksi-diksi “motivasi di atas”
Walaupun kita tahu, orang tua kita pasti tidak bermaksud menyakiti hati kita saat masih kecil, tanpa disadari kata-kata ini berbahaya.
Maksud hati para orang tua adalah memotivasi kita, tapi apa yang sebenarnya diterima anak saat itu?
“Mamah ga sayang lagi sama aku, cuma sayang sama kakak.”
“oh aku memang ga sebaik adik.”
Membandingkan anak memang sebenarnya membuat orang tua dan anak merasa stres, tapi dorongan untuk melakukannya tidak bisa ditolak. Rasanya mulut orang tua, (bahkan zaman sekarang guys masih ada!) pengen aja bandingin anak terus. Duh.
Katanya sih tujuan dibalik membandingkan anak adalah untuk memotivasi, memancing semangat berkompetisinya dan mendidik anak agar memiliki mental unggul. Lah gimana mau kompetisi, kadang yang dibanding-bandingkan juga ga subjektif dan jadinya kompetisi merupakan dorongan untuk pencapaian anak. Tapi apakah cara mendidik anak ini selalu berhasil?
Tidak ada dua anak yang sama, even itu anak kembar ya. Setiap anak memiliki bakat, minat, tingkatan, dan kekuatan berbeda.
Orang tua bisa membangun atau menghancurkan rasa percaya diri anak ketika mengungkapkan rasa tidak senang karena pencapaian yang buruk. Negative labeling, hancurnya kepercayaan diri bahkan rasa benci terhadap saudara bisa dimulai dari kebiasaan membandingkan ini. Apalagi ini selalu diulang-ulang setiap harinya dan menempel di ingatan anak.
Contoh nyata yang saya hadapi teman, masih tergolong kerabat. Semoga Allah berikan ia hidayah. Ia sering sekali bicara kepada anaknya dengan negative labeling ini, “kamu tuh lelet banget ya kak, sekarang tuh jam berapa? Nanti terlambat lho.”
Mungkin bagi Sebagian orang itu biasa, ia mengucapkan kenyataan dan fakta yang diterima setiap harinya. Namun, tahukah Ayah Bunda, orang tua apalagi Ibu adalah seseorang yang harus menjaga lisannya. Bahkan saat ia berucap demikian, keyakinan yang ia tanamkan pada diri anak. Bahwa ia memang lamban dan akan terlambat.
Bagaimana solusinya? Kita sambung di artikel selanjutnya ya.
Berikut uraian lebih lengkapnya dampak dari anak yang dididik dengan cara dibanding-bandingkan :
#1. Mengalami Stres
Anak pasti akan terbebani bila ia terus dibandingkan. Tugas orang tua memang mendidik anak, bukan menekannya untuk melakukan sesuatu yang malah membuatnya cemas.
Analoginya, seperti menanam sebuah pohon. Kita harus memupuk, merawatnya dengan seksama. Mendidik anak bukanlah pekerjaan sehari semalam. Pentingnya kita paham aspek dan tahap perkembangan anak.
Setiap tahapan usia perkembangan tentu karakteristiknya akan berbicara. Ibaratnya, kita tidak mungkin memberikan dalil surga dan neraka kepada anak di bawah 2 tahun jika mereka berbuat kesalahan.
Atau kepada anak remaja, kita tidak bisa hanya membanding-bandingkan dengan saudara atau anak orang lain. Belajar mendengarkan anak, mari duduk dan bicaralah pada anak bila ada hal mengganggu yang mempengaruhi prestasinya. Bangun kedekatan secara emosional. Temukan solusi bersama.
#2. Anak akan Rasa percaya diri rendah
Hal ini bisa dipastikan anak akan mulai percaya bahwa orang lain itu lebih baik dari dirinya. Seolah tergambar dalam ingatan mereka bahwa mereka tidak bisa melakukan sesuatu yang baik dan memenuhi harapan orang tua. Perasaan ini dapat merusak kepribadiannya sehingga anak akan memiliki rasa percaya diri yang rendah dan pertumbuhan akademiknya pasti akan terganggu.
#3. Tidak menghargai diri sendiri
Apabila anak masih mendengar kata-kata orang tua yang meminta ia untuk mengikuti anak lain agar berprestasi baik, ini dapat menghancurkan rasa percaya dirinya. Cara mendidik anak seperti ini dapat menghancurkan performanya di masa mendatang.
#4. Membangun perilaku tidak bersemangat
Bila bakat dan prestasi anak terus diabaikan, dan orang tua hanya sibuk membanding-bandingkan, maka anak bisa tidak lagi bersemangat karena Ibu dengan jelas membandingkannya dengan anak lain yang punya prestasi lebih.
#5. Membekunya kreativitas dan minat anak
Sewaktu saya mulai berkuliah, saya mulai lebih banyak mengenal banyak dan ragam sifat orang. Rasanya saya memiliki keheranan mengapa ada anak yang kurang kreatif atau takut mencoba. Jika kita telisik lebih dalam, banyak sekali memang faktornya. Salah satunya sedari kecil sering dibanding-bandingkan.
Kenapa ketika membandingkan anak bisa memberi dampak bekunya kreativitas dan minat anak. Contoh ketika anak bertanya sesuatu, kita sibuk membandingkannya “kok gini aja ga ngerti sih,kakakmu aja bisa.”
Tahukah teman, yang direkam anak adalah jika aku bertanya orang tua yang akan marah jadi lebih baik aku diam. Lebih baik aku tidak mencoba dan sebagainya.
Ketika anak ingin mendalami kemampuannya dalam melukis, tapi sebagai orang tua kita malah ingin anak berlatih berenang. Inilah yang disebut membekukan kreativitas dan mematikan minat anak. Karena anak tidak punya ruang untuk berkembang dan mencoba, selalu dalam setiran harapan orang tua.
#6. Jauhnya kedekatan emosional dengan orang tua
Saat orang tua membandingkan anak dengan saudara kandung, sepupu, teman, atau tetangganya, maka anak akan merasa tidak nyaman berada di dekat orang tua. Ini menjadi bukti kalau ada yang salah dalam dirinya yang tidak bisa terima orang tua.
Keberadaan orang tua bisa menjadi sumber utama rasa sakit dan anak akan berusaha menjaga jarak. Akibatnya, anak merasa tidak nyaman dan hilang kepercayaan dan menjauh secara hubungan batin dengan salah satu maupun kedua orang tua. Kesalahan mendidik anak seperti ini di kemudian hari bisa memicu masalah perkembangan dan perilaku si kecil.
Dan atmosfer hubungan ini membuat anak akan mencari kenyamanan lain di luar sana. Syukur-syukur jika ketemu pergaulan yang baik, bagaimana jika tidak? Naudzubullah yah.
#7. Mendorong perselisihan saudara kandung
Ketika orang tua terus menerus memberi pujian ke anak yang lain, bisa-bisa muncul kebencian pada saudara kandungnya sendiri. Tanpa sadar ia membenci saudaranya dengan halus.
Penutup
Bisa dikatakan memang bahwa mendidik anak tentulah tugas paling sulit di dunia dan tidak ada yang namanya orang tua ideal. Namun, sebagai manusia yang berakal kita harus terus mengembangkan diri ke arah yang lebih baik.
Setelah mengetahui banyaknya ragam dampak setelah membanding-bandingkan anak, tentu kita harus mencari cara agar mengasuh lebih baik. Jangan sampai kita lebay ataupun lalai.
Mari kita bergandengan tangan untuk belajar dan mempraktikan segala teori positive parenting agar anak kita sehat lahir dan batinnya serta menjadi pribadi yang unggul.
Jangan putus semangat untuk terus membantu anak tumbuh di lingkungan yang positif. Selamat memberi apresiasi anak setiap hari dengan cinta dan afirmasi baik.
Semoga bermanfaat, salam.