Sebagai orang tua kita pasti pernah terlanjur marah pada anak. Lantas kita menyesal dan merasa bersalah setelah marah pada anak, tapi tak lama kemudian kita marah lagi. Bagaimana agar terlepas dari siklus penyesalan ini?
Menjadi seorang orang tua memang memiliki tantangannya tersendiri. Kita semua pasti sepakat, profesi seumur hidup ini tidak pernah sengaja dipersiapkan. Kebanyakan dari kita sebetulnya tidak siap dan tidak tahu dari mana dan bagaimana menjadi sebagai mamah atau ayah.
Ternyata begitu banyak yang harus dipersiapkan baik fisik maupun psikis ketika menyandang gelar orang tua ini. Salah satu momen yang kita ingat pasti ketika anak bayi yang terlahir dalam rahim kita ini, tiba-tiba bisa membalas senyum kita.
Lambat laun, bukan hanya senyum tapi omongan kita pun bisa ia balas.Bahkan tingkahnya yang dulu lucu, kini sudah bisa membuat kita tarik dan menghembuskan napas serta geleng-geleng kepala.
Pernah menyesal setelah meluapkan amarah yang tidak sejalan dengan kata hati?
“Kenapa aku bisa semarah itu sama anak?”
“Kok gitu aja aku marah?”
“Apa aku Mamah yang buruk ya?”
Dan kalimat penyesalan dan tudingan lainnya pada diri sendiri.
Sebelum kita masuk ke cara terlepas dari siklus lingkaran marah dan menyesal, satu hal yang perlu didasari adalah pastikan emosi yang mendasari perilaku yang kita sesali.
Contoh kasus: Seorang Ibu marah kepada anak-anak yang lambat bersiap pergi, kemudian menyesal setelah marah dan melihat salah satu anaknya menangis. Lalu berkata dalam diri:
Mengapa tadi aku merasa marah pada anak?
jawab= aku marah karena anak-anak lama bersiap-siap padahal aku sudah janjian jam 10 dengan teman. Aku khawatir terlambat dan malu padahal sudah jam 9.30 aku khawatir jalanan macet.
Selanjutnya, pertimbangkan tindakan apa yang harus diambil nanti jika berhadapan dengan situasi yang serupa.
Dengan begini kita bisa memberitahu tindakan yang diinginkan dengan emosi yang lebih stabil untuk mengantisipasi kejadian serupa terulang. Apalagi jika berurusan dengan anak usia dini, pastikan emosi kita tenang saat memberikan informasi.jika kita hanya berdialog dengan anak tanpa tahu penyebab utamanya pasti perubahan pun akan sulit dilakukan.
baca deh ini: Mengendalikan Emosi Marah Selama di Rumah
#1. Pahami diri dengan beri rasa sayang.
Siapa yang di sini sehabis marahin anak kemudian berkata “Yang saya lakukan tadi jahat”. “Aku ini orang tua yang ga baik.” “apa tadi aku terlalu mengekang anakku ya?”
Jurus penghakiman dan pelabelan negatif diri seolah menyerbu. Mah, Yah yuk, kita belajar memahami diri sendiri dengan cara MENGAKUI EMOSI DIRI. Jangan menyalahkan diri sendiri dan skeptis atau malah ragu ya dengan kalimat di atas.
Kita perlu memahami bawah diri kita juga lagi kesulitan.
Kita bisa ganti dengan kalimat berikut dengan memahami diri sendiri:
“Aku ingin sekali melakukan yang terbaik untuk anak-anakku. Namun, hatiku sakit karena melakukan perbuatan yang tidak aku inginkan. Aku sudah melakukan hal yang sepertinya melukai anak-anakku. Aku sedih juga muak. Kelihatannya tidak ada yang bisa memahami perasaanku. Ya Allah, bantu hamba.”
jadi kalau ada yang bertanya Apakah boleh marah pada anak? boleh, secara fitrah marah itu emosi. Tapi ingat marah itu cenderung merusak. Marah boleh, tapi suka marah-marah jelas tidak boleh. Kita harus menyalurkan marah dengan benar.
baca dong : Cara Praktis Mengajarkan Anak Regulasi Emosi
#2. Beri dukungan dan hiburan pada diri sendiri.
Kita bisa lakukan dengan kata-kata ini:
“Hari ini aku sudah berjuang. Aku berusaha agar anak-anak bisa menghabiskan akhir pekan bersama di luar menyenangkan. Namun, beberapa hal terjadi di luar dugaan seperti keributan saat ingin berangkat. Itu biasa kan? Itu bukan kesalahanku. Aku bukan satu-satunya yang bersalah. Aku telah berusaha melakukan yang terbaik. Ya Allah bimbing aku di jalan yang lurus.”
Self talk seperti secara sadar akan memberikan kekuatan pada diri. Karena dengan mengakui kesulitan dan kesedihan diri. Bukan merasa marah itu hal yang negatif atau pelabelan kita orang tua yang buruk apalagi menyalahkan diri sendiri. Setelah itu kita bisa berdoa kepada Allah agar dimudahkan dan diberi petunjuk.
Hal ini memang ga mudah dilakukan, apalagi pertama kali. Muncul pikiran-pikiran negatif yang menyalahkan diri sendiri, sehingga kita lupa untuk memberi kasih sayang pada diri ini. Apalagi mulai membandingkan diri sendiri atau menghakimi diri sendiri.
Jujur, aku sendiri juga masih beberapa kali mengalaminya.
Pernah ga merasa “udah belajar kok gini lagi, kamu kok ga bisa mempraktekkan apa yang kamu bicarakan?” dan sejenisnya.
Oleh karena itu kita perlu segera beristigfar dan mengetahui pemikiran yang terlintas ketika marah.
#3. Ekspresikan Emosi
Salah satu karakteristik emosi adalah hasratnya untuk diekspresikan atau dibiarkan keluar. Oleh sebab itu jangan pernah menahan emosi yang muncul secara alami. Yang harus kita pelajari adalah cara mengendalikan dan mengekspresikan emosi tersebut.
Kita bisa menyalurkan lewat ucapan atau paling aman dengan menulis. Karena anak-anak sudah mulai mengerti apa yang kita ucapkan, kalau kita ga punya cukup space menjauh sama anak. Bisa jadi potensi masalah baru ketika anak mendengar ibunya meluapkan emosi. Paling aman dengan menulis di buku atau notes handphone. Tapi aku sarankan lebih ke fisik ya agar memori tangan dan otak juga sinkron. Percayalah, kita akan merasa lebih lega.
Kembali ke studi kasus saat kita marah anak berlambat-lambat mau pergi. Apabila setelah kejadian marah tersebut kita tidak bisa langsung release, kita bisa “merapel” saat di ujung malam atau beberapa hari sekali. Agar perasaan kita tidak tergulung dengan rutinitas.
Baca juga: Mengelola Emosi Ibu
Penutup
Ingat, agar tidak terjebak dalam perasaan penyesalan dan kemarahan berulang sebaiknya kita memahami dan memberi kasih sayang pada diri sendiri. Lakukan ekspresi emosi secara berkala agar ransel emosi kita tidak penuh.
Semangat berlatih agar terampil, demi diri dan keluarga yang bahagia lahir batin. Aamiin.
Shafira Adlina | Parenting Blogger
Apalagi saat lihat anak2 tidur yaa..Duuh..rasanya hilang semua rasa marah sebelumnya.. Terima kasih sharing tips nya ya.. masukan penting nih buat ortu..
Hal yang kerap kali kakakku ceritakan ketika lagi marah dengan anak anaknya. Kadang kebawa emosi lalu ujung ujungnya menyesal, meminta maaf sama mereka,
Aku belum punya anak, tapi dulu pernah marah ke anak les ku dan itu bikin aku menyesal banget jika ingat, alhamdulillah anaknya tumbuh dengan baik dan beranjak remaja sekarang
Dan juga makasih untuk tips kelola siklus marah menyesal marah ini
Hal yang kerap kali kakakku ceritakan ketika lagi marah dengan anak anaknya. Kadang kebawa emosi lalu ujung ujungnya menyesal, meminta maaf sama mereka,
Aku belum punya anak, tapi dulu pernah marah ke anak les ku dan itu bikin aku menyesal banget jika ingat, alhamdulillah anaknya tumbuh dengan baik dan beranjak remaja sekarang
Dan juga makasih untuk tips kelola siklus marah menyesal marah iniii
Mengelola emosi itu tidak mudah, tapi harus dibiasakan. Kalau aku kadang berusaha menahan amarah dengan berpikir sebab akibat. Kalau aku begini nanti pasti begini, dan aku andaikan kalau aku mengalami hal itu bagaimana..Jadi kadang emosi bisa terkontrol kecuali kalau memang sudah keterlaluan dan perlu memberi pelajaran ya tidak apa-apa sekali-kali marah agar anak pun merasakan bagaimana rasanya kecewa dan belajar mengatasinya..
Sesabar2nya ibu pasti pernah lah marahin anaknya. Wajar dan sangat manusiawi. Penyesalan hadir karena namanya ibu pasti sayang anak dan sedih saat anak menangis setelah dimarahi.
terima kasih untuk ilmu parentingnya mba, setuju banget sangat manusiawi marah itu selama dikeluarkan dengan cara dan waktu yang tepat agar tidak menyakiti siapa pun, saya pun kalau selesai ngomelin keponakan meski dengan bahasa halus tanpa teriak tanpa bahasa kasar, suka nyesel banget, apalagi mungkin yang marahnya sampai berlebihan ya, pasti seorang ibu menyesalnya luar biasa
Rasanya memang marah itu manusiawi karena bagian dari emosi manusia. Aku sekarang bisa lihat gimana ibuku marah ke adikku, yang mungkin itu juga pernah dilakukan ke saya. Tapi sekarang, saya bisa lebih menenangkan ibu ketika marahin adik, agar nggak berujung pada penyesalan. Dan emang biasanya ibu langsung pergi menjauh dulu, dan saya yang mencoba menasihati adik saya agar tidak melakukan hal-hal yang membuat ibu marah.
Kadang dibentang orang tua itu bikin sedih sih hihi. Jadi tahu Angle seorang ibu ternyata ketika mengucapkan kata marah ternyata emang ibu lebih sedih jadi kangen ibu.
Manajemen marah ini memang teorinya mudah dipahami, susah dipraktekkan ya Mbak. Melihat masku yang ketika marahin anaknya dengan tegas tapi terkontrol nadanya kadang terbersit nanti kalau aku sendiri pas marah ke anak apa bisa terkontrol gitu ya atau jadi gimana ya mwehehhe
Sedih banget.
Kalau habis marah rasanya kaya yaaang.. “Apa yang salah yaa..”
((sering juga masih gak mau menyalahkan diri sendiri))
Yang paling kelihatan kalau akutu teknik berkomunikasi. Antara anak pertama dan kedua tuh sangat jauh berbeda. Kalau anak pertama persis kaya ngomong ke anak laki yang ga butuh kalimat panjang, sedangkan sama anak kedua, kudu discuss panjang lebar.
Jadi dari sini, aku mulai bersabar degan prosesnya.
Ya proses dalam diriku dan dalam diri anak-anak.
Semoga kita semua bisa memberikan regulasi amarah yang tepat untuk diri sendiri dan anak-anak.