Anak-Anakmu Bukanlah Anak-Anakmu

Photo of author

By Shafira Adlina

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu

Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri

Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu

Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu”

Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah postingan kerabat jauh. Di dalam postingan itu ia menggambarkan betapa ia merasakan kebahagiaan setelah anaknya wisuda dari perguruan tinggi. Namun, ada sebuah kalimat darinya yang membuat mengerinyatkan dahi :

“Terima kasih sayang, telah melanjutkan cita-cita Ibu..”

Mungkin bagi sebagian orang itu kalimat biasa. Tetapi tidak begitu bagi saya dan orang yang paham psikologi pun sependapat dan paham ada luka serta gunung harapan dari kalimat tersebut.

Dibalik kalimat yang disematkan pada depan foto anaknya yang mengenakan toga itu, ada luka masa lalu yang dimunculkan kembali. Ada harap yang tak tercapai. Perihnya kenyataan yang ia telan di masa lalu dibebankan pada Pundak anaknya.

Tak akan ada yang menyatakan mudah hidup dalam jalan yang disuguhi oleh orang tua. Jalan hidup penuh bayang harap menjadi boneka mimpi mereka. Meskipun atas nama birul walidain, hidup dalam bayangan harapan orang lain akan menyisakan sesak.

Kejadian ini mengingatkan pada puisi terkenal tak lekang oleh waktu dari Kahlil Gibran yang berjudul “Anakmu Bukanlah Milikimu”

anakmu bukanlah milikmuPuisi Kahlil Ghibran : Anakmu Bukanlah Milikmu

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.

Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu.

Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.

 

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu.

Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.

 

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,

Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu

Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu.

 

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan

 

Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh.

 

Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan

Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.

Mari kita resapi setiap bait dan puisi di atas. Jika baru dibaca sekali memang terasa biasa. Puisi Khahlil Gibran ini memang penuh makna, tidak akan lekang oleh zaman karena banyak nilai-nilai yang sangat dalam. Mari kita baca sekali lagi dengan penghyatan yang lebih dalam, apa yang dipilirkan dan dirasakan teman-teman?

Saya pribadi saat membacanya begitu dalam karena seolah menjadi aktor di dalam puisi tersebut.

menjadi orang tuaMenjadi orang tua memang tugas seumur hidup. Bukan hanya seumur hidup kita, tapi juga seumur hidup anak. Tanggung jawab otomatis disematkan pada kita begitu Allah anugerahkan amanah keturunan tersebut.

Setiap bait puisi Kahlil Gibran sebetulnya bisa menganulirkan rasa harapan kita pada anak. Tidak dipungkiri meski tanpa luka, tunas harapan akan selalu bermunculan. Maka, puisi dari Kahlil in ijuga jadi pengingat kita.

Boleh saja kita punya harapan yang lebih baik untuk anak kita. Namun, ingatlah wahai orang tua anak-anak kita bukanlah diri kita. Mereka bukan sepenuhnya milik kita. Tugas kita mendidik, merawat, membersamai mereka. Tumbuh bersama mereka menjadi apa yang Allah inginkan. Bukan semata keinginan semu kita atas nama kebaikan.

Bait pertama ini sudah membuat kita ingin membaca hingga akhir. Dalam bait ini Kahlil Gibran dengan tegas bahwa anak adalah titipan Allah dan sepenuhnya kita akan diminta pertanggung jawabkan.

baca juga : Harapan Orang Tua adalah Jalan Hidupku?

TAPI SAYA TAHU APA YANG TERBAIK BUAT ANAK SAYA.

Kalimat ini begitu santer terdengar menjadi pembenaran atas azas aku tahu apa yang lebih baik dari mereka. Tidak hanya perkara seperti jadi sarjana serupa dengan studi kasus di atas. Namun, seperti menjadikan mereka penghapal quran, ulama, pilot, tentara dan apapun itu. Dengan cara otoriter, tanpa ada diskusi, kemukakan strong why dan toxic positivity adalah cara keliru.

“Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan”

Anak panah pasti memiliki arahnya. Bukan hidup sebagai busur. Kita sebagai orang tua justru bertanggungjawab melesatkan mereka bagai anak-anak panah. Bukan mendikte jalan sang anak panah. Kunci dari melesatkan mereka bagai anak panah adalah dengan proses yang membahagiakan. Kebahagiaan ini menjadi koneksi antara kita sebagai orang tua dengan anak kita. Karena menjadi orang tua adalah proses seumur hidup. Maka dari itu, pentingnya kita selalu belajar untuk menjadi orang tua yang lebih baik.

baca juga : Kenapa Harus Belajar Parenting

Jadi, bagaimana kabar kalian hari ini Mamah dan Ayah semoga bahagia lahir dan batin ya.

Semoga bermanfaat, salam.

shafira adlina

23 thoughts on “Anak-Anakmu Bukanlah Anak-Anakmu”

  1. Setuju pakai banget banget banget banget. Itulah sebabnya aku percaya sama kalimat “Semua orang bisa punya anak (ntah anak kandung atau adopsi), tetapi nggak semua orang bisa jadi orangtua”. Jadi orangtua berat, salah satunya harus menyadari bahwa anak bukanlah aset yang harus menuruti mimpi-mimpi orangtua yang belum sempat tercapai. Iya kalau mimpi2 itu sesuai dengan minat dan bakat anak, kalau nggak?
    Mengarahkan anak sesuai minat dan bakatnya jauh lebih penting, semoga ke depannya para orangtua dan aku pribadi bisa menjadi orangtua yang tidak memaksakan kehendak pada anak. Sesuai dengan judul artikel ini, anakmu bukanlah milikmu.

    Nice sharing, Mbak 😉

    Reply
  2. Bener banget dari case ini ada inner child ibunya dimasa lalu. Semoga kita bisa memutus tali rantai sandwich generation anak. Lebih sadar hakikat membimbing anak menjadi manusia yang diinginkan Alloh. Apapun nanti peran dalam masyarakat ga harus sama kaya yg kita mau.

    Reply
  3. Masalahnya tidak banyak orang tua yang mau belajar dan menyadari semua ini. Lebih lagi niatan mereka menyekolahkan anak tinggi-tinggi untuk nanti bisa balik membiayai orang tua. Seperti balas budi. Naudzubillah. Semoga kita dijadikan orang tua sholeh dan tidak menjadi beban anak-anak kita nantinya. Aamiin….

    Reply
  4. Serem ya klo ada orang tua yg merasa anak adalah miliknya & bisa dujafikan apapun seauai keinginannya. Menyedihkan….aku sering kali dicurhati anak2 maupun orangtua. Kebanyak si anak kesal krn hrs kuliah sesuai keinginan orangtuanya. Memang ga sedikit anak yg mengikuti tp stlh lulus, ijasahnya diberikan ke orangtua & dia bilang, “sejarang aku mau kuliah dijurusan A” Ada pula yg mengiyakan tp stlh itu, dia tinggalkal ditengah jalan. Sedih ngeliatnya.

    Ga sesikit orangtua yg tlp nangis2 katanya anaknya kabur & ga mau kuliah lg. Stlh dikorek, ternyata jurusan yg diambil krn permintaan orangtua. Laah…piye toh?

    Anak itu punya pribadi & jln hidup sendiri, orangtua hanya mengawal, klo salah belok. Kembalikan & jadikan mereka teman diskusi & kenali keinginannya. Biar mereka berkembang sesuai keinginan & minatnya, kan hidupnya mereka yg akan menjalani bukan kita. Semoga manfaat

    Reply
  5. setiap kata-katanya Kahlil Gibran itu sellau indah dan dalam maknanya, betul sekali ya anak-anak itu bukan milik kita tetapi titipin dari Allah dan kita sebagai orang tua adalah busur yang berkewajiban menjadikan mereka menjadi anak-anak yang sholeh dna sholehan, terima kasih mba tulisannya kembali mengingatkan kita sebagai orang tua

    Reply
  6. Sebagai orang tua sejak awal saya sadar kalau tugas saya hanya mengantarkan. Apa yang akan dilaluinya, termasuk kemana ia akan menuju, itu biarkan si anak yang menjalani.
    Dengan pemikiran seperti itu, mendampingi dengan hal terbaik pasti saya lakukan, tapi mengendalikannya, tentu saja tidak

    Reply
  7. Sebagai orangtua kita hanya membwri oengarahan seauai minat & keinginan anak2. Krn anak mempunyai pribadi sendiri & semua dia yg akan menjalani. Kita hanya mengawasi, andai keluar jalur. Ya diluruskan kembali. Untuk.itu jaga komunikasi dg baik.& kenali teman2nya. Saya membiasakan anak2 terbuka, mau cerita apa aja Emaknya tampung. Alhamdulillah….2 anak semua sdh mapan dg hiduonya masing2 sesuai dg pilihannya sendiri. Sbg orangtua bahagia melihat keberhasilannya.

    Reply
  8. Sebagai orangtua kita hanya memberi pengarahan sesuai minat & keinginan anak2. Krn anak mempunyai pribadi sendiri & semua dia yg akan menjalani. Kita hanya mengawasi, andai keluar jalur. Ya diluruskan kembali. Untuk.itu jaga komunikasi dg baik.& kenali teman2nya. Saya membiasakan anak2 terbuka, mau cerita apa aja Emaknya tampung. Alhamdulillah….2 anak semua sdh mapan dg hiduonya masing2 sesuai dg pilihannya sendiri. Sbg orangtua bahagia melihat keberhasilannya.

    Reply
  9. Kadang memang tanpa terasa kita meletakkan ambisi atau harapan berlebih pada anak ya Mbak. Semua mimpi atau cita-cita yang belum terlaksana dibebankan ke pundak mereka. Padahal anak-anak nanti pun akan hidup dalam zaman yang berbeda. Semoga kita bisa terus meluruskan niat kita membesarkan, mendidik mereka karena ALLAH. aamiin.

    Reply
  10. Masih banyak lho ortu dengan pola pikir seperti itu. Apalagi ortu dari zaman sebelum era baby boomers. Saya aja masih inget. Waktu kecil, ada kerabat jauh berkunjung lalu bertanya ke ortu saya: ini dari anaknya mana yang akan melanjutkan masuk tni/abri seperti almarhum kakeknya? Kok untungnya almarhum bapak saya menjawab: biar nanti anak-anak bebas menentukan cita-citanya.

    Reply
  11. Alhamdulillah, baca tulisan ini bisa jadi pengingat nanti kalau2 diri ini terlalu memaksakan kehendak kepada anak terkait pilihan hidupnya. Selama ini berusaha memberikan pendapat saja, namun pilihan apa yang akan diambil saya serahkan pada anak-anak. Hanya urusan sekolah sekaligus mondok saja yang tidak bisa ditawar. Untuk hal yang satu ini semoga anak-anak kami akan mensyukurinya di kemudian hari meskipun saat ini terasa penuh perjuangan.

    Reply
  12. MasyaAllah ia harus disadari benar oleh ortu bahwa anak mempunyai jalannya hidup sendiri jadi biarkanlah mereka menjemput takdirnya sendiri. Tugas ortu hanya mengantarkan dan mengarahkan

    Reply
  13. Anak-anak punya hak. Untuk memilih sendiri kehidupan mereka.
    Orang tua itu layaknya fasilitator nggak sih kasih masukan kasih fasilitas supaya anak mendapat yg baik dan memilih yg baik

    Reply
  14. Zaman SMA aku baca buku Kahlil Gibran karena salah satu sahabatku hobi sekali membuat puisi dan ia merekomendasikan buku puisi tersebut. Rasanya mengeryitkan dahi, apa maksudnya ya..?
    Setelah jadi orangtua, aku jadi sadar bahwa benar orangtua adalah pembimbing. Masalah hasil dan ketetapan (takdir) yang membawa anak-anak ke manapun yang mereka bisa.

    Bismillah,
    Semoga Allah takdirkan kebaikan untuk mereka.

    Barakallahu fiik~

    Reply
  15. Sejujur ya aku tu suka kepikiran, apa aku udah melewati batas ya dengan terlalu banyak “ngatur-ngatur”, apa aku sudah menghormati mereka sebagai seorang individu. Semoga yang kulakuin masih dalam koridornya

    Reply
  16. Menjadi orang tua, itu memang kompleks banget. Tiap fase tumbuh kembang anak harus beda pula pengasuhan dan pola pendekatan.

    Tugas orang tua mengarahkan, pilihan tetap kembali pada anak. Hanya saja sebagai orang tua kita selalu berdoa agar anak2 mudah menerima nasihat kebaikan dan pelajara . Agar ia memilih sesuatu sesuai dgn syariat dan norma kebaikan.

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page