Mengenal 5 Bentuk Ketidakadilan Bagi Perempuan

Photo of author

By Shafira Adlina

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan sebuah materi mengenai peran keluarga sebagai support system bagi penyintas korban seksual. Hari ini kita mendapatkan berita dan kenyataan di sekitar kita tentang ketidakadilan yang dialami khususnya oleh kaum hawa.

5 Bentuk Ketidakadilan Bagi Perempuan

Hal ini terjadi juga dengan kerabat dekat saya. Ia adalah salah satu korban atau penyintas kekerasaan seksual. Apa yang terjadi ketika ia memberitahukan sebuah perilaku tak pantas yang ia alami yang dilakukan oleh pamannya sendiri kepada ibunya? Ia hanya diminta diam agar tidak melaporkan pada ayahnya agar tidak terjadi keributan. Tanpa disadari, keluarga kadang merasa bahwa penyintas kekerasaan seksual juga sebagai hal yang negatif.

Yuk simak apa saja bentuk ketidakadilan bagi perempuan yang sering dialami di sekitar kita.

1. Marginalisasi Perempuan

Marginalisasi yang dimaksud merupakan proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya karena perbedaan jenis kelamin. Perlakuan marginalisasi ini masih kerap terjadi.

Sasaran utamanya karena kurangnya pemahaman seksualitas khususnya pada sistem reproduksi. Contohnya ketika seorang pekerja swasta perempuan hamil atau melahirkan, jika ia izin tidak masuk bekerja bisa diancam akan dilakukan pemotongan gaji atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

Selain itu di antara kita masih ada anggapan suatu profesi yang dilakoni perempuan adalah lebih cocok yang berjabatan rendah dan tidak terlalu tinggi. Kenapa? laki-laki merasa tersingkirkan dan merasa direndahkan pula. Padahal akar permasalahan yang memang salah adalah penyebab kuatnya budaya patriarki.

2. Subordinasi Perempuan

Tentu kita sepakat bahwa dalam hal apapun entah itu politik, ekonomi, sosial, pendidikan,jabatan setiap orang berhak meraih kesempatan yang sama. Baik perempuan dan laki-laki.

Namun, pada kenyataannya hari ini kita masih menemukan ketidakadailan yang berbentuk subordinasi ini. Misalnya, ketika seseorang memprioritaskan penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki daripada perempuan yang juga memiliki kapabilitas yang sama.

Di mata masyarakat pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk sebuah jabatan tertentu harus diubah, perempuan masih dinomorduakan.

Seharusnya kita sadar bahwa kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab.

3. Kekerasan Fisik yang dialami Perempuan

Hari pun kita masih sering mendengar bahwa seseorang yang diperlakukan kasar bukan dianggap sebagai subjek, tetapi objek yang wajar dijadikan pelampiasan. Laki-laki yang tidak bertanggung jawab sering menjadikan perempuan sebagai objek kekerasan. Tindakan tersebut terjadi karena masih ada anggapan kuasa dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.

Suatu hari saat pelatihan fasilitator eksportir saya dipertemukan seorang ibu yang terpaut 20 tahun dari usia saya. Kami menjadi teman satu kamar. Singkat cerita ia menceritakan manis pahitnya rumah tangga yang ia alami. Ia menjadi korban kekerasan oleh mantan suaminya sendiri hampir belasan tahun.

Kenyataan ini ia tutup rapat dari keluarganya sampai ia berpisah dari mantan suaminya tersebut. Alasannya agar anaknya tidak mengikuti jejak keburukan ayahnya tersebut. Terlepas dari tindakan ibu tersebut, hal ini menyadarkan saya bahwa perempuan masih menjadi korban kekerasan di dalam suatu hubungan.

Selain itu sering kali para korban kekerasan jika melawan malah dianggap berdusta, mencemarkan nama baik, dan hanya sekedar mencari sensasi. Apabila tidak menaati perintah laki-laki atau suami malah dikatakan durhaka, dan melanggar perintah agama. Ironi memang, tapi masih banyak kita temui kenyataan ini di lingkungan sekitar kita

4. Stereotype atau melalui pelabelan negatif

Sampai hari ini kita banyak menikmati stigma atau label yang melekat pada diri kita karena konstruksi sosial di masyarakat. Contohny, perempuan harus bekerja pada ranah domestik, sementara laki-laki pada sektor publik. Jika anak laki-laki yang mudah menangis dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau cengeng, padahal hal itu karena pengungkapan emosi yang wajar.

5. Beban Ganda (yang dipaksakan) pada Perempuan

Beban ganda yang dipaksakan pada perempuan biasanya sering terjadi dalam ranah rumah tangga. Pada perempuan yang berkarier di luar harus mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun.

Pihak laki-laki bukannya saling membantu dalam urusan domestik, tapi menjadikan para perempuan ini mendapatkan beban ganda yang dipaksakan. Perempuan dikatakan menjadi korban ketika mendapatkan pembagian kerja tanpa kesepakatan. Mirisnya banyak laki-laki yang tidak banyak bekerja dan hanya bersantai saja .

Penutup

Itulah setidaknya ada lima bentuk kekerasan seksual yang kerap terjadi di sekitar kita. Bagaimana pendapatmu tentang kekerasan seksual dan ketidakadilan pada perempuan dan apa yang harus kita lakukan sebagai keluarga atau support system untuk membantu mereka?

Semoga bermanfaat, salam.

shafira adlina cerita mamah

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page