Akhirnya Persalinan itu Tiba (Part 3)

Photo of author

By Shafira Adlina

Sudah suratan Illahi, malam itu tanggal 23 Agustus saya memasuki ruangan operasi. Pertama tama saya dipersilahkan untuk mengganti baju dengan ibu bidan di ruang tunggu operasi, saya merasa sangat dingin sekali. Ketika perawat operasi datang, mereka laki laki berjumlah 2 orang, di tengah rasa takut dan mules kontraksi yang melanda pada saat itu saya pasrah sepasrah pasrahnya. ” Ya Rabb adakah kekuatan sampai detik ini untuk bertemu adik bayi yang srhat dengan cara normal ya Rabb? Ataukan ini krhendakmu untuk melayangkan pisau ke perut hamba?”

Dari ruang tunggu pasien, saya sdh tidak ditemani siapa siap. Karena pada akhirnya kita pun akan berakhir dalam kesendirian bukan? Saya dibawa mengenakan blangkar menuju kamar operasi melewati 3 pintu otomatis srperti di film film. Segera saya berbatin, ya Allah ini pertama dan terakhir saya memasuki kamar operasi ini!
Tanpa disangka, ketika saya masuk dan dipindahkan ke kasur operasi yang canggih itu perawatnya menyetel radio dengan lagu lagu kekinian yang sedikit banyak menganggu kekhusyukan dzikirulloh saya. Entah lagu tangga, lyla dan band band endonesa lainnya berputar. Awalnya saya pikir untuk menunggu doktetnya datang, ternyata saya salah sepanjang saya operasi dendangan radio itu terus berputar bahkan dokter bedah yang menjahit saya sempat sempatnya sambil bernyanyi, masyaAllah.
Di ruangan yang dingin itu ada 6 atau 7 orang, 1 dokter anesti, 1 bidan, 1 dokter spog, 3/4 perawat operasi. Hanya bidan dan dokter anesti yang perempuan, sisanya laki laki.
Ada tv layar datar di atas kasur operasi saya yang merekam kegiatan bedah membedah. Bahkan ketika saya mulai berbaring, salah satu dari mereka entah dokter atau perawat dengan santainya berbicara “ibu ini kamera, ini wajah ibu bisa lijat di layar tv, nah nanti ibu bisa lihat perut ibu disana”
@’:/=-((!!,#

Bahkan dokter anestinya berbicara “kapan lagi ibu bisa lihat bayi keluar dari perut ibu? Ayo ibu berani kan”. Sungguh saya tidak berani untuk melihatnya bahkan kalau bisa lari saya ingin lari dan pulang saja. Selama operasi saya tidak berani untuk menegok layar di sebelah kiri tersrbut, saya hanya menatap jam dinding di sebelah kanan walau sesekali saya mengintip karena penasaran juga.
Jelas mereka terbiasa dan berpengalaman dibidang operasi, semua gerak cepat ketika saya datang, jarum, pisau alat lainnya. Nyala lampu diruangan operasi lebih terang dibanding dengan apa yang kubayangkan. Perlahan ibu dokter anesti itu memperkenalkan dirinya dan menjelaskan tugas dan tanggung jawabnya dalam operasi malam itu. Bahwa ia akan menusukkan jarum di tulang belakangku dan rasanya sedikit sakit. Bius lokal akan dilakukan karena bius itu yg paling aman untuk ibu dan bayinya. Jika dilakukan bius total kemungkinan bayi tidur lebih besar. Bayangkanlah ibu hamil 9bulan dengan perut besar meringkuk ke depan dengan memeluk bantal agar dokter dapat menusukkan jarumnya ke tempat susuna syaraf. Seketika dari pinggang ke bawah terasa kesemutan luar biasa, rasanya tidak bisa menggerakkan anggota tubuh bagian bawah. Pada saat itu yang terlintas di benakku bagaimana nanti saat ajal menjemput, apa rasanya?
Bius lokal memang membuat kita tidak merasakan sakit sementara akan tetapi terasa perutmu disayat seperti diobok-obok. Hal itu mungkin karena sebagian organ tubuh “kembali ke posisi semula”. Setelah dibius, saya berbaring, dengan cepatnya tangan kiri yang sudah terinfus dari kemarin disuntikkan entah obat apa, sementara tangan kanan saya dipasang alat tensi otomotis dan denyut jantung. Dan ternyata selama operasi tensi saya stabil di kisaran 150/90 padahal seumur umur paling besar tensi saya 120, jelas karena tegang dan stress.
Operasi dimulai, pertama mereka membersihkan perut saya dengan lumuran betadine jelas terlihat di layar, lalu tak kuasa saya melihatnya lagi entah terpejam atau saya sibukkan dengan berdzikir. Lalu terlihat ada asap di perut saya, mereka mulai menyayat lapis lapis daging dan rahim. Ya Allah, di saat itu saya sudah benar benar pasrah.
Sampai akhirnya jarum jam menunjukkan pukul 23.10 kepala bayi tetlihat dilayar dan segera diangkat dan dieserahkan ke ibu bidan. Sementara para dokter sibuk “menyelesaikan” saya, ibu bidan itu langsunh cepat menangani bayi yang keluar dari perutku itu. Tangisnya sangat kencang dan lama sekitar 15 menit (sempat ada insiden ternyata pelipisnya terkena forsep). Rasanya sangat campur campur, dimana ketegangan terus bergejolak, sangat terasa perut ini sakit(saat kukeluhkan katanya karena saya memili maag, jadi efek lambungnya) semenyara haru melihat anak bayi yang terlahir kulihat kaki dan tangannya disebrang kasurku. Sekitar 10 menit, ibu bidan memperlihatkan padaku dan menempelkannya pada pipi, kucium pipi anak kecil itu. Ya Rabb, ini rasanya jadi Ibu. Sementara proses IMD tak mungkin dilakukan oleh ibu dengan persalinan SC karena dokter berpacu dengan kondisi sang Ibu.
Perlahan obat bius itu hilang.
Bayi sudah dibawa keluar duluan, sementara saya terus diobservasi selama 2 jam. Rasa sakit tambah melanda, guncangan sedikit menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Ketika saya dipindahkan dari kasur operasi. Obat penahan rasa nyeri mulai dimasukkan. Nifas mulai berjalan. Benar saja kata Obgyn saya, “bedanya normal sama SC, normal memang sakit tetapi setelah itu kamu bisa langsung loncat, kalau SC prosesnya memang ga sakit tapi abis itu kamu tobat selama 6bulan.”
Setelah dinyatakan oke saya siap dibawa ke ruang inap lagi. Sedihnya saya tak sempat bertemu dengan mamah saya lagi karena sudah plg ke Sukabumi. Ketika melihat senyum di wajah suami dan mengatakan saya hebat serta dede sehat membuat hati ini sedikit tentram.

Sekitar Pukul 2 pagi tiba di ruang inap saya belum bertemu dengan bayi saya lagi karena mash diobservasi. Dan ternyata pada malam itu menjadi malam yang panjang karena saya tidak bisa beristirahat, bayang2 kamar operasi dan rasa sakit yang mulai muncul bertubi tubi membuat saya mengigil. Lantunan murrotal terus mengiringi di tempat istirahat saya. Sementara suami dan mertua saya yang jelas lelah juga dalam menemani persalinan “panjang” saya tertidur pulas di kamar itu.
Saya baru bertemu dengan bayi kami sekitar jam 10 pagi. Alhamdulillah, tak hentinya saya bersyukur bayi kami sehat sempurna. Kala itu saya belum bisa memluk dan mengendongnya lantaran hari pertama operasi saya masih belum semurna menggerakan badan saya. Hari pertama baru belajar miring kanan dan kiri, keesokannya srtelah cateter dilepas saya belajar duduk dan berdiri. Selain itu belajar ke kamar mandi dan belajar berjalan dilakukan di hari kedua dan ketiga pasca operasi.
Di hari pertama berjumpa dengan bayi kami pun saya langsung mulai menyusuinya. Perjalanan menyusui bayi yang kami beri nama “Halim Sakha Ahmad Alkhawarizmi” dan pemulihan pasca sesar insyaallah saya post selanjutnya.


Setiap kelahiran selalu membawa doa, harapan dan cita-cita dari orang2 sekeliling agar kelak kamu berkelimpahan dalam iman, ilmu, amal dan rezeki. Setiap kelahiran pun menjadi pengingat manis kepada kita yang sudah lebih lama di dunia ini akan doa, harapan dan cita yang dahulu dipanjatkan kepada kita. Maka setiap kelahiran juga refleksi, jangan mengecewakan orang yg mempercayai kita.
Selamat datang anakku sayang. semoga Allah melindungimu.

Semoga apa apa yang saya ceritakan ada ibroh manfaatnya untuk yang membaca.

Halim Sakha Ahmad Alkhawarizmi


Salam sayang,

@shaadl

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page