Setelah 7 tahun Mengontrak dan Tinggal Bersama Mertua

Photo of author

By Shafira Adlina

setiap rumah tangga ada ujiannya
Masya Allah Tabarakallah, kami di depan rumah pertama kami.

Sebetulnya akan panjang jika bercerita tentang hal ini. Draft ini naik turun kutuliskan, mencari sisi di mana hikmah yang bisa diambil oleh pembacanya. Kali ini aku ingin bercerita tentang sebuah ketetapan Allah yang tidak disangka-sangka.

Perihal rumah, dalam setiap pernikahan menjadi sebuah perbincangan hangat. Apalagi namanya rumah tangga, masa ga ada rumahnya ya kan? 

Setiap Rumah Tangga Berbeda Ujiannya

Kalian pasti setuju kan setiap rumah tangga pasti memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Ujian di awal pernikahan tentu tidak akan ada yang sama persis. Ada yang begitu menikah, Allah mudahkan rezekinya dengan memiliki rumah sendiri, ada juga yang harus mengontrak ataupun harus tinggal bersama orang tua sendiri atau mertua.
Ujian setiap rumah tangga memang rupa-rupa warnanya, seperti lagu balonku yang merah, kuning, hijau di langit yang biru. Namun, jangan sampai meletus nanti hatiku sangat kacau. yaaaaa….

Terbukti dengan beberapa kisah nyata yang berada di sekelilingku. Ada kerabat kami yang begitu menikah, Allah kasih kelapangan suaminya langsung bisa membeli rumah dengan cash. Ada juga yang berjuang dengan mengambil KPR di bank. Ada juga yang membeli tanah seperti kami namun tak kunjung dibangun, wkwkw.
Berbeda lagi dengan salah satu teman kami yang terpaksa tinggal bersama mertua karena keadaan. Meskipun mereka telah memiliki rumah mewah, tapi karena mertua satu-satunya sudah sepuh dan memilih ditemani untuk tinggal di rumahnya. Ada juga kisah sepasang suami istri yang harus mengontrak lantaran pekerjaannya yang nomaden, setiap beberapa tahun sekali harus berpindah kota bahkan provinsi.
Sayangnya, meski ujiannya berbeda-beda. Mulut netizen Indonesia memiliki nada yang sama. “Kapan kamu punya rumah?”
“Masa ngontrak mulu?” dan pernyataan sejenis lainnya pasti pernah kita dengar.
Atau rasa iri yang membuncah karena begitu transparannya era media sosial sekarang.
“Enak ya jadi dia…”
Itulah hidup sawang sinawang, kalau kata bahasa jawa. Saling pandang-saling melihat. Padahal di  balik kenikmatan setiap hamba juga pasti ada sepaket dengan ujiannya masing-masing.
Begitu juga kami…
Memang blogpost ini sepenuhnya curhat, mudah-mudahan ada ibroh atau manfaat hikmah yang bisa dipetik.
Di awal pernikahan, rumah tangga kami benar-benar bermula dari 0 bahkan minus. Alhamdulillah, kami memang ga sampai mengalami susah makan. Saat itu di awal pernikahan suami masih merintis usaha ekspornya dan terjebak riba karena usaha suami yang belum stabil. Qodarulloh, di setiap ujian memang selalu ada pesan dariNya.
Allah ingin benar-benar menjauhkan kami dari riba. Setelah lepas dari kesalahan itu, kami benar-benar tidak ingin mendekati riba sama sekali. Kami benar-benar berhijrah ingin menjauhi riba maupun yang syubhat. Termasuk dalam menggapai keinginan kami dalam memiliki hunian.
Kebayang ga temen-temen, saya menikah dengan suami dengan proses ta’aruf. Kami berdua memiliki sifat dan latar belakang yang jauh berbeda. Saya sedari kecil hanya mengerti bekerja itu bisa ditempuh jika kita sudah selesai sekolah dan kuliah. Orang tuaku yang latar belakangnya guru PNS, atau sanak saudara yang karyawan. Sementara suami?
latar belakang keluarganya pedagang. Walaupun semua sudah dijelaskan di CV kami masing-masing sebelum menikah tapi perbedaan ini juga yang menjadi banyak pola pikir kami.

Ada ras kekhawatiran,deg-degan dan cemas yang sulit dijelaskan dengan rangkaian kata ketika suami memilih jalannya untuk merintis usaha ekspor saat itu. Sering kali saya bertanya kenapa ga cari kerja aja dan sebagainya? tau apa yang dibilang suami? saya dibawa ke seminar Ippo Santosa. hahaha.

caranya halus sekali menasehati saya yang super fragile kala itu. Intinya sih, sebagai istri saya harus mendukung keputusan suami yang sudah memilih jalan hidupnya saat itu selama halal dan thoyib ya.

Eh kok jadi melebar cerita kesana, intinya saat itu rasanya ga mudah menerima jalan hidup yang rasanya kok berbeda. Linkaran pertemanan saya dulu begitu bekerja punya rumah, bahkan kendaraan pribadi. Kalau dipikir-pikir sekarang mah, ya ampun dulu aku mikir duniawi banget.
Apalagi di awal pernikahan, posisi saya kuliah Pascasarjana di kota Bogor dan kami mengontrak sebuah rumah yang tidak jauh dari kampus.
Meskipun mengontrak, rasa bahagia dan syukur  itu kunci menjalani hari-hari itu. Mungkin karena waktu itu juga fokus menyelesaikan kuliah sambil merintis menjadi ibu dan istri. Dengan perabotan rumah yang meski sangat sederhana, rasanya rumah lebih hangat dibanding dulu tinggal di rumah bersama orang tua meski lebih besar dan lengkap.
Diri ini juga tak pernah malu mengajak teman kuliah atau saudara untuk bertandang ke rumah. Sekadar bermain, bahkan teman kuliah pascasarjanaku ada yang suka menginap menemaniku ketika suami pergi keluar kota. Dibanding aku berdua sendiri bersama sulung bayi saat itu.
Ahh.. Masya Allah

Hijrah ke Jakarta

Setelah menjadi kontraktor di sana. Setelah lulus kuliah, 3 tahun tinggal di Bogor. Qodarulloh ternyata lebih banyak pekerjaan yg mengharuskan dekat ibukota. Pilihan tinggal di rumah mertua pada kondisi ekonomi saat itu adalah yg terbaik. Terlebih lagi, bapak ibu mertua benar-benar ingin mengasuh cucu pertamanya ini.
Semua pilihan ada konsekuensinya. Rasa aman dan nyaman yang diterima tentu ada juga gesek-gesekan yang harus dilalui. Namanya tinggal bersama orang tua. Kadang ada pola asuh, kebiasaan dan hal-hal lainnya yang bertentangan dengan prinsip.
Bohong rasanya kalau saya bilang tinggal dengan mertua itu mulus-mulus saja. Bukan waktunya cerita soal ini, tapi satu pesan Allah yang ingin kusampaikan pada kalian ketika tinggal mertua adalah bagaimana menerima dan belajar berkomunikasi serta bersikap lebih baik. Kepada mertua sendiri juga kepada suami dan anak.

Dahulu ada rasanya malu, segan karena tinggal di rumah mertua. Padahal kami juga tinggal di bagian atas, secara morfologi interior kami punya rumah sendiri karena memiliki dapur dan kamar mandi. Namun, akhirnya bisa menerima dan memahami. Bahkan saya ga sungkan kalaupun ada teman kuliah, circle teman lainnya bahkan adik sendiri datang dan menginap.

https://www.instagram.com/p/Blu3rq4FJdt/

Suara Sumbang akan Terus Ada

Ada saja memang setiap perjalanan, suara sumbang dari kiri kanan bahkan dalam kata keluarga itu yang memberikan nada sumbang.

“Harusnya kan kalian pisah hidupnya dari orang tua.”

Kata seharusnya, seandainya, semestinya adalah diksi penghakiman kita ke orang lain. Kita harus paham bahwa sejatinya hidup akan terus bertemu dengan masalah. Bukan kita yang harus lari dan pergi dari masalah tapi bagaimana kita bisa merespon dan mengelola terhadap masalah tersebut.

baca juga : Hikmah Menghadapi Masalah dan Masa Sulit

Mulai untuk Visualisasi Doa

Siang hari ini saat aku tengah menidurkan Sakha yang belum genap 2 tahun, aku berkutata dengan jurnal dan segala tugas kuliahku yang belum selesai. Tiba-tiba suami datang dan menempelkan kertas yang telah diprint. Foto sederhana dari google, ia mengetik besar-besar dalam kertas ukuran A4 itu  kurang lebih kalimatnya “Rutin Ekspor 1 Kontainer Per bulan”. Lalu ada gambar rumah 2 tingkat yang dicomot dari mesin pencari tentunya. “Punya rumah 2 lantai”. Begitulah suami mengajarkan dengan aksi. Agar kami selalu ingat untuk berdoa dan berusaha sungguh-sungguh.

Begitu juga saat tinggal di rumah mertua. Hampir 4 tahun rasanya suami ngeprint gambar di google ini di tembok. Masya Allah. Dulu mikirnya atuh ga aesthetic ayah….tapi setiap lewat tembok ini dan setiap nengok abis solat jadi inget, doa lagi doa lagi.

Sakha pun kami ajarkan apalagi ketika sudah baca tulis di usia balitanya, ketika dia mau beli mainan atau apapun itu dia mencoba mencetak dan menempelkannya di tembok.

Masya Allah…atas izin Allah semuanya juga bisa kecapai tulisan yang ditembok. jangan pernah malu untuk meminta. Kan ada hadistnya juga

“Sesungguhnya Allah Maha pemalu dan pemurah. Dia malu bila seorang lelaki mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa”

Namun, jangan lupa sekarangg mah ditambah doanya. Semoga apapun yang kita inginkan di dunia juga bertambah keimanan dan kedekatan juga ibadah kita kepada Allah. Tentu yang paling penting jadi tabungan bekal kebaikan untuk di akhirat.

Akhirnya Bertemu dengan Rumah Impian

Hari itu bahkan pada bulan itu aku tidak menyangka akan mencari sebuah rumah. Beberapa hari di akhir tahun kemarin, kami mencoba survey beberapa sekolah dasar islam di Jakarta. Sayang, sekitar rumah mertua belum ada yang cocok bagi kami dan anak kami.

Suami bilang coba kamu lihat perumahan islami X di sekitarnya ada sekolah apa. Qodarulloh bertemulah dengan sekolah alam natur islam (yang sekarang jadi sekolah anak kami), next kita coba menceritakan sekolah ini ya. Namun, sayang perumahannya tidak cocok dan underekspetasi dari kami.

Setelah beberapa kali survey berdua bersama suami malah ketemu rumah meski second, lingkungannya baik dan pemiliknya pun memudahkan proses jual beli rumah ini. Ah, masyaAllah rezeki ga disanga-sangka banget emang.

Gagasan utamanya yang ingin kusampaikan adalah ternyata setiap orang memiliki timelinenya masing-masing. Tak perlu memikirikan apa kata orang, kenapa kita belum kaya orang. Sadar-menerima-ridho, 3 kata sakti yang tergurat jelas dalam menyikapi masalah pada perjalanan hidup ini.

Namanya rezeki ga disangka-sangka, jujur ini namanya tidak disangka-sangka. Ga pernah kebayang malah jadi warga Bekasi lagi. Alhamdulillah ala kullihal, Masya Allah Tabarakallah. Semoga kalian yang membaca dan sedang merajut mimpinya segera dimudahkan dan dikabulkan. Aamiin.

Proses demi proses adalah sebuah perjuangan yang patut disyukuri. Semoga bermanfaat, salam.

ujian pernikahan selalu ada

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page