Merespons Emosi Negatif Anak

Photo of author

By Shafira Adlina

Tiba-tiba tangannya mengepal, memukul pahanya sendiri. Berteriak ah. Anak kecil yang belum genap berumur lima tahun ini bereaksi sedemikian rupa setelah dilarang loncat-loncat di atas kasur.

Akhirnya hari itu datang, hari di mana anak sulung saya sudah bisa menyampaikan argumennya. Menyampaikan pesan keberatannya akan sesuatu yang ia rasakan. Meskipun perkembangan otaknya masih belum sempurna, di tahap perkembangan otak ini menurut buku enlighting parenting dari Okina bahwa seusia anak sulung saya ini didominasi kondisi theta dan alpha, kondisi otak tersebut sama dengan orang dalam keadaan hipnosis. Anak seusia ini akan menyerap dan meniru apa pun yang mereka lihat, dengar dan rasakan.

Saya yang sering khilaf melakukan refleks marah atau mengancam kepada anak tertegun dan bernapas sejenak. Mencoba menjernihkan pikiran. Memang mengancam adalah cara instan membuat anak diam atau berhenti melakukan sesuatu yang menurut kita tidak benar atau pantas. Tetapi dalam pengasuhan tentu hal tersebut tidak akan bertahan lama. Fitrah manusia begitu menemui persoalan langsung mencari di mana kunci jawaban.

Orang Tua Sekolah Seumur Hidup

Menjadi orang tua adalah pembelajaran seumur hidup. Anak bayi yang dulu hanya bisa menangis ketika popoknya basah atau perutnya lapar, lambat laun kini bisa memperjuangkan keinginan dan kemauannya. Kita tidak akan menjadi orang tua yang baik hanya karena panjang sumbu umur. Menjadi orang tua yang baik tentu perlu perjuangan. Tidak melulu soal harta, investasi waktu dan ilmu serta konsistensi doa sangat diperlukan.

Tengoklah bagaimana ibunda Imam Syafii yang selalu mendoakan anaknya setiap anaknya berulah. Hal tersebut juga yang selalu ditanamkan suami semenjak melahirkan anak pertama saya. Kala itu menjadi hal terberat ketika harus meninggalkan seorang bayi berumur 3 bulan selama hampir 10 jam setiap harinya untuk menyelesaikan pendidikan. Suami selalu berpesan, jaga ucapan sebagai Mamahnya anak-anak serta kuatkan doa untuk anak.

Ketika anak mulai bisa menunjukkan keinginan dan kemauannya, mulai usia 1-2 tahun. Mereka mulai bisa menerima rangsangan meski sangat terbatas. Egosentris yang masih melekat menjadi ciri anak sampai usianya 7 tahun.

Lalu ketika datangnya emosi marah pada anak. Saya termasuk anak yang tumbuh dengan label “gak boleh marah, ga boleh nangis” seakan-akan ekspresi kedua emosi tersebut adalah salah. Padahal pada dasarnya marah merupakan bentuk emosi yang wajar dan manusiawi. Berbekal sedikit ilmu parenting yang saya cari dari sumber kredibel. Saya dan suami mulai menerapkan kehidupan yang lebih baik kepada anak-anak. Salah satunya dengan belajar menjadi orang tua yang sholeh dengan berilmu dengan berbagai sumber. Kami mendapati bahwa ekspresi menangis dan marah adalah hal yang wajar untuk dirasakan.

Ketika anak marah apa yang harus kita lakukan?

Marah merupakan hal yang normal. Marah pun tidak identik dengan hal yang negatif. Hanya saja mengungkapkan kemarahan setiap orang berbeda-beda. Tergantung kondisi fisik, psikis, lingkungan dan kematangan emosional.

Apalagi ketika satu tahun ini kami harus beradaptasi menjadi orang tua dari dua cahaya mata, anak sulung kami pun dengan perkembangan emosi yang belum sempurna harus “berbagi orang tua” dengan adiknya. Salah satu yang pernah diceritakan Mbak Linda, tertuang mengenai bagaimana menghadapi perselisihan antar anak.

1. Tenang

Selama kita tidak tenang dan rileks. Kita hanya akan menambahkan bahan bakar kepada api yang membara. “kamu kenapa sih marah-marah!” teriak orang tua kepada anaknya sedang marah. Kira-kira jika hal itu terjadi, apa reaksi anak yang sedang marah? Anak akan diam atau malah marah menjadi-jadi?

Jangan lupa untuk menenangkan diri, dengan bernapas. Benar-benar menarik napas, agar semua organ kita berfungsi dengan dialiri oksigen.

2. Dengarkan anak

Dahulu di awal mengasuh anak, saya sempat salah langkah, pernah sekali saya meninggalkan anak di kamar ketika ia sedang menangis, bukan tambah reda tangisnya malah menjadi-jadi. Kita saja jika sedang melewati badai emosi rasanya nyaman sekali ketika ada yang mendengarkan. Apalagi anak?

Dengarkan dan temani, kedua hal itu membantu saya selama ini membersamai perkembangan emosi Sakha. Sesekali katakan “Iya Mamah tahu, Sakha lagi sedih ya? sini Mamah temeni ya.”

Ibarat jangkar bagi perahu perasaan anak yang sedang terombang-ambing.

Ada kalanya Sakha nangis tambah kenceng, tapi ia berproses mengeluarkan rasa kesal, cemburu dan emosi negatif lainnya. insyaAllah itu adalah kuncinya. Mereka merasa didengarkan dan membentuk trust di hati mereka.

3. Tebak perasaan anak

“Sakha lagi marah?”
“Sakha marah karena mamah larang main sepeda?”

Psikolog Devi Sani pernah membagikan ceritanya, bahwa anak akan merasa dimengerti ketika kita orang tua sebagai orang terdekat anak menebak atau merefleksikan perasaannya. Bukan berarti kita setuju dengan perasaan anak itu. Tetapi dengan memahami perasaan anak, anak akan merasa tersentuh dan jauh lebih lega melewati badai emosinya.

“Sakha boleh marah, tetapi yang ga boleh marah-marah. Yuk tarik napas, yuk sini mamah peluk.”

Melatih regulasi emosi adalah empati pada emosi anak. Salah satu tujuan utama kenapa anak harus lebih peduli akan emosi yang ia rasakan adalah agar anak merasan aman untuk merasakan emosinya. Inilah yang akan memulai proses healing. Begitu mereka bisa mengatur emosinya, maka perilaku mereka akan lebih mudah diatur.

Penutup

Emotional intelligence dimulai dari anak untuk menenangkan diri dari emosi negative. Beberapa anak terlahir dengan kemampuan lebih untuk meregulasi diri. Namun kita sebagai orang tua memiliki pengaruh besar untuk dalam mengembangkan regulasi emosinya. Apalagi seorang Mamah, anak biasanya mencontoh dan meneladani bagaimana kita sebagai Mamah merespon sesuatu.

Psikolog Devi Sani juga menambahkan bahwa otak bayi akan mengembangkan jalur untuk menenangkan emosi negative setiap kali orang tua menenangkan mereka. Dengan kata lain ketika kita menenangkan bayi, kita membantu anak untuk menguatkan kemampuannya di masa yang akan datang untuk menenangkan diri.

Bertambah umurnya anak kita bisa membantu melanjutkan proses pengetahuan tentang emosinya. Kita bisa merespon dengan tenang, memeluk anak saat ia sedang bersedih, menarik nafas dan menghembuskannya bersama-sama. Dan yan paling penting seperti yang dijelaskan di atas melatih regulasi emosi adalah empati pada emosi anak. Jika anak merasa dimengerti maka ia akan belajar nyaman dengan emosi yang ia rasakan.

Kedekatan dengan orang tua dan cenderung menerima batasan serta mau diajak bekerja sama insyaAllah akan terasa. Anak-anak menjadi belajar bahwa emosi itu bukan hal yang berbahaya. Anak-anak memiliki pilihan untuk mengekspresikan emosi yang mereka miliki. Sehingga mereka anak cenderung untuk mengembangkan pengendalian diri. Meski saya sendiri masih jauh berproses untuk melakukan pengendalian emosi diri, sampai saat ini masih belajar bersama anak-anak.

Yuk kita sebagai orang tua mari bantu anak-anak untuk berlatih memahami emosi anak dan meilik cara terbaik untuk meregulasi emosinya. Memang tidak mudah membicarakan pengasuhan dan emosi karena sifatnya sangat abstrak. Tetapi mari kita bertahan agar bisa memahami hal ini. insyaAllah akan terasa pengasuhan yang nyaman, indah dan menenangkan hati.

Semoga bermanfaat, Salam.

 

Sumber pengetahuan :

  • Don’t be angry mom (Nurul Afifah,2019)
  • Enligthing parenting (Okina Fitriani)
  • Instagram klinik psikologi rainbowcastleid

38 thoughts on “Merespons Emosi Negatif Anak”

  1. Setuju kak, kecerdasan emosional memang harus diasah dan dilatih sejak dini.
    Merespon emosi anak dg cara yg positif akan menjadikan anak terasah kecerdasan emosional nta

    Reply
  2. Setuju kak, kecerdasan emosional memang harus diasah dan dilatih sejak dini.
    Merespon emosi anak dg cara yg positif akan menjadikan anak terasah kecerdasan emosional nta

    Reply
  3. Kadang pas anak saya ngambek mereka senangnya masuk kamar. Grasak grusuk menunjukkan kalo sedang ngambek. Dan emang bener ketika ditebak mereka suka .

    Reply
  4. apa yang dilihat anak dari kecil biasanya akan membekas sampe dia gede, orangtua memang harus pinter menempatkan diri di depan anak anaknya apalagi pas lagi emosi

    Reply
  5. Emotional Intelegence ternyata hrs diajarkan sejak dini ya mbak kalau keburu besar dikit pasti udah susah.. soalnya kalau sdh besar gamoang terpengaruh dng lingk.dan teman2 nya

    Reply
    • bener banget mba, ponakan saya juga begitu, kalau enggak nanti dia cepet teriak marah, dll. kan kasian juga untuk anaknya. untung banget sekarang udah enggak dan udah bisa dibilangin, mungkin karena sudah geda dan semakin paham.

      Reply
  6. Duh, menjadi orang tua memang tidak mudah ya mbak. Saya yg belum jadi orang tua saja membaca tulisan mba kok trenyuh bagaimana mba harus meninggalkan bayi 3 bulan utk menempuh pendidikan. Walau hanya 10 jam pasti berat juga secara batin

    Reply
  7. Setuju, orang tua berperan besar dalam mengembangkan regulasi emosi anak, maka kita sebagai Ibu kita mesti memberi teladan terbaik agar kebaikan juga ada pada anak kita.
    Ulasan yang menarik sebagai pengingat diri menjadi ibu yang lebih baik lagi. Makasih, Mbak

    Reply
  8. Ah bener banget, kaaak. Jadi orangtua itu sekolah seumur hidup. Bahkan, kalo beneran ada sekolah khusus orang tua yang ngeluarin sertifikat, aku mau juga daftar. Karena, setiap fase anak tentu ada tantangan tersendiri ya, kak. Anakku sudah memasuki fase remaja, dan mempelajari fase anak remaja milenial sambil ngajarin dasar agama, ini tuh tantangannya juga cukup besar. Apalagi mereka pun sama, belum stabil pengelolaan emosinya. Jadi, masih tetap harus banyak menenangkan diri sebelum berdiskusi

    Reply
  9. Ternyata ngajarin anak emotional intelegence dari dia kecil itu bagus untuk perkembangan emosi anak saat besar nanti ya kak. Wah menarik nih jadi belajar banget

    Reply
  10. Kalau saya masalahnya nih menyikapi love hate nya si kakak dan adik.
    Kagak bisa nebak rasanya emosi mereka.
    Sebentar main, sebentar nangis, sebentar ngakak, sebentar jejeritan.
    Kakaknya kebanyakan tingkah kek ulat keket, adiknya ngikut tapi dengan intensitas lebih lebay.
    Misal kakaknya suka becanda mukul, eh adiknya balas mukul dengan kekuatan sinar matahari, hahahaha.

    Hadeeehh, puyeng pala mamak wakakakaka

    Reply
  11. bener ya mba, kita harus pandai-pandai menjaga amarah di depan anak. kadang kalo ngomel juga harus diperhatikan jangan sampai bikin anak-anak trauma. sulit memang tapi bukan berarti gak bisa. harus terus banyak belajar ya jadi orang tua. makasih sharingnya mba.

    Reply
  12. Sekolah itu beneran seumur hidup ya kak. Pun ketika sudah jadi nenek dan kakek tetap harus update buat menghadapi cucu mereka. Sayapun begitu menghadapi keponakan yang tiba-tiba ngambek rasanya nano-nano hehehe

    Reply
  13. Bersabar jalan keluarnya. Tapi susah banget itu. Coba jadi pendengar yg baik bagi anak, itu sedang saya lakukan juga. Karena benar, anak kan meniru lingkungan terdekatnya ya

    Reply
  14. Orang tua memang harus lebih sering berkomunikasi dengan anak biar lebih tahu perasaan anak dan anak nyaman curhat ke orang tuanya tanpa harus marah atau ngambek dulu

    Reply
  15. Setuju banget kak, bawasanya anak harus diajarkan cara mengelola emosi sejak dini agar kedepannya anak bisa mengontrol emosi untuk menjadi seorang yang bijaksana

    Reply
  16. tugas orang tua yang panjang ya , apalagi emosi negatifnya diam , masuk kamar dan sebagai orang tua harus nebak kenapa si anak seperti ini, harus investigasi diam2 ya.

    Reply
  17. Saya blm menjadi orangtua, namun ulasannya dapat saya petik manfaatnya mengenai bagaimana berperilaku thdp anak2, apalagi soal amarah

    Reply
  18. Saya sendiri sering merasa belum bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kami. Terutama anak sulu yang ada saja tingkahnya yang bikin emaknya ini lepas kendali. Khawatir kelak akan terus membekas di ingatan dia hla yang tidak baik dari emaknya ini.

    Reply
  19. Gampang-gampang susah ya memberi pengertian anak untuk mengendalikan emosinya. Tiap anak pun beda-beda karakternya. Makasih artikelnya Mbak…

    Reply
  20. Sekolah seumur hidup sebagai orang tua, setuju sekali mbak, karena pengasuhan itu juga sampai akhir hayat ya, meskipun anak2 sudah dewasa kita tetap harus menjadi orang tua yang selalu siap sedia. Mengatasi emosi negatif anak memang harus dengan kepala dingin ya, biar kita juga tidak ikutan emosi, yang ada malah terjadi pertengkaran anak dan orang tua nanti. Semoga kita selalu dimudahkan dalam mendidik anak-anak kita menjadi anak yang solih dan sholihah ya mbak.

    Reply
  21. Sungguh susah untuk berusaha tenang ketika anak sedang emosi ya kak. Semakin kita marah, semakin menjadi-jadi anak. Aku juga bingung dulu aku waktu single pendiem sekarang minta ampun berkaca dengan diri sendiri.

    Reply
  22. Memimbing anak mampu meregulasi emosinya ini juga jadi konsern saya dan suami Mba dalam mendidik anak. Kebetulan diamanahi anak dengan tipe temprament sulit.
    Setuju sekali kalau teladan orangtua tetap jadi kunci utama terutama ibunya

    Reply
  23. Makasih banget mba ini jadi pengingat buat saya bagaimana menyikapi jika anak mengeluarkan emosi negatif. Memang harus disikapi tenang ya. Kalau gak makin menjadi biasanya

    Reply
  24. Haha. Ini pe er banget. Dulu waktu anak2 masih kecil, terutama masa balita, saking marahnya tapi sadar gak boleh kelihatan marah, aku pernah sampai nangis di depan mereka. nangis bareng deh. Soalnya udah gak sempat menyingkir. kalo diingat lucu dan indah juga. Krn anakku kemudian tahu kenapa bundanya sampai menangis. Kubilang karena khawatir gak bisa jaga titipan Allah.

    Reply
  25. Perasaan mereka harus diterima dulu ya mbak. Setelah diterima baru lebih mudah untuk menenangkan dan memmberikan saran, kalau kitanya ikut ngomel yang ada anaknya malah tambah menjadi atau merasa tidak dianggap perasaannya.

    Reply
  26. Menjaga komunikasi dengan anak itu penting. Makanya, orangtua sebisa mungkin nggak balik marah saat menemukan ananda marah. Dipeluk-peluk dulu, tanyakan apa yang dia rasakan, apa yang orangtuanya bisa bantu untuknya dalam mengatasi kemarahannya. Mungkin anak nggak selalu mau bercerita. Tapi setidaknya, sejak kecil dia juga tidak terbiasa dituduh sesuatu karena marah, misalnya dihakimi sebagai anak pembangkang atau nakal.

    Reply
  27. Mengelola emosi adalah menjadi salah hal ynag terus aku usahakan setiap hari. Agar bisa mendidik anak dengan lebih baik.

    Semoga kita senantiasa dimudahkan dalam proses mendidik anak anak menjadi pribadi yang tangguh dan berani

    Aamiin

    Reply
  28. endingnya, berasa ketampaar, anak yang memiliki orangtua yang pemarah maka anak pun jadi anggap biasa, lah anak mencontoh gitu kan ya, huhuhuh.
    balik lagi kita harus jadi role model yang baik nih agar anak mencontoh kebaikan dari kita sebagai orangtuanya. 🙂

    thanks for reminding Mbak 🙂

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You cannot copy content of this page